Salah satu perusahaan konsultan telekomunikasi di Indonesia, PT LTE adalah tempat saya bekerja. Di dalamnya, banyak tim dari berbagai budaya. Jika dilihat dari perspektif komunikasi antar budaya, LTE mencakup komunikasi antara dua atau lebih budaya yang berbeda, yang menghasilkan pandangan, stereotipe, atau judgement. Hal ini dibuktikan dengan jumlah karyawan yang berasal dari berbagai suku, seperti Jawa, Sunda, dan sebagainya. Komunikasi antar ras, etnis, dan internasional adalah bagian dari komunikasi antar budaya.
Perusahaan PT LTE berada di Jakarta, yang dikenal sebagai Kota Metropolitan. Memahami lebih jauh tentang komunikasi internasional memungkinkan orang terlibat dalam interaksi dengan orang dari berbagai negara. Salah satu kegiatan rutin LTE adalah CAB (Change Advisory Board), yang bertujuan untuk mereview dan memutuskan perubahan yang akan dilakukan oleh suatu perusahaan. Orang-orang dari berbagai negara, termasuk India dan Indonesia, terlibat dalam CAB meeting, menunjukkan komunikasi internasional dengan nilai, budaya, dan bahasa yang berbeda. Tetapi mereka tetap berkomunikasi secara berkala untuk lebih memahami satu sama lain dan membuat keputusan terbaik untuk perusahaan.
Untuk menghindari kesalahpahaman, interaksi antara kelompok etnis di satu negara juga perlu dipelajari dari sudut pandang komunikasi antar etnis. Selain itu, komunikasi antar ras memengaruhi komunikasi di berbagai konteks sosial. Konteks sosial ini mengacu pada interaksi antara individu atau kelompok yang berbeda ras yang memiliki perbedaan dalam komunikasi verbal dan nonverbal. Sebagai contoh, ketika Anda berbicara dengan orang India, menggelengkan kepala diartikan di Indonesia sebagai penolakan nonverbal, tetapi di India artinya pasti berbeda. Contoh tambahan adalah interaksi saya dengan Putri di lingkungan kampus. Karena saya orang Jawa dan Putri berasal dari Bima, seharusnya saya menyadari bahwa orang Bima tidak bisa berbicara Jawa, dan sebaliknya, jadi saya harus menyesuaikan komunikasi saya dengan menggunakan bahasa yang kita sama-sama bisa dan paham, yaitu bahasa Indonesia.
Jika kita melihat hubungan antara komunikasi internasional, antar etnis, dan antar ras dengan komunikasi antar budaya, kita dapat mengetahui bahwa keduanya berfokus pada perbedaan budaya yang harus dijembatani. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa prasangka, stereotipe, dan etnosentrisme dapat menghalangi komunikasi antar budaya jika tidak diterapkan dan dipahami dalam kehidupan sehari-hari.
Saya bertemu dengan orang baru dari latar belakang yang berbeda selama pekerjaan saya di PT LTE. Setiap pertemuan pasti memiliki waktu untuk saling mengenal; ada beberapa orang yang percaya bahwa orang Jawa berbicara dengan sopan dan lembut. Ini menunjukkan bahwa stereotipe terhadap orang Jawa terjadi, yang membuat asumsi bahwa semua orang Jawa seperti itu. Kemudian datang prasangka, yaitu saya pernah merasa takut berinteraksi dengan Mas Rosid, seorang programmer yang sangat cerdas, karena saya pikir dia akan mengajukan pertanyaan sulit dan mendalam jika kami berbicara. Ini menunjukkan bahwa prasangka negatif menghambat komunikasi, yang mengurangi kemungkinan terjalinnya relasi. Selain itu, ada etnosentrisme, yaitu penilaian budaya lain berdasarkan budaya sendiri. Ketiga hal ini menghambat komunikasi antar budaya karena generalisasi, pikiran negatif, dan percaya bahwa budayanya yang terbaik menghambat pemahaman, menimbulkan konflik, dan merusak hubungan.
Pengalaman ini mengajarkan saya banyak tentang komunikasi antar budaya. Maka, jika saya bertemu orang baru dengan budaya yang beragam, saya akan berusaha menjadi lebih terbuka untuk tidak menilai orang berdasarkan apa yang saya temui semata-mata; sebaliknya, saya akan mempelajari budaya mereka lebih jauh untuk menghindari menyamaratakan pandangan. Selain itu, untuk mencegah prasangka negatif muncul, saya akan bertanya tentang budaya mereka daripada prasangka buruk memutuskan interaksi kita. Oleh karena itu, langkah pertama yang akan saya ambil adalah mengakui semua perbedaan yang ada dan melihat bagaimana orang berperilaku, baik secara lisan maupun nonverbal, untuk membantu membangun budaya komunikasi yang sehat di mana orang menghargai dan menghormati satu sama lain.
Jurnalis memerlukan komunikasi antar budaya karena dengan memahami dan mengalami interaksi lintas budaya, mereka dapat memahami berbagai perspektif saat meliput berita, membangun hubungan yang kuat dengan masyarakat dan sumber berita, dan mencegah kesalahpahaman yang disebabkan oleh ketidaktahuan budaya. Semua bagian masyarakat juga sudah seharusnya mempelajari pentingnya komunikasi antar budaya demi terciptanya komunikasi yang efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H