Aku sering kali menulis curhatan, puisi, sekedar note di facebook, atau bahkan berlembar-lembar cerpan kisahku dengan beberapa orang yang pernah masuk ke dalam kehidupanku, atau bisa disebut tentang mantan kekasih. Ada yang termuat di tabloid, ada di majalah, atau sekedar di blog pribadiku, tapi untuk seseorang yang kini mendampingi kehidupanku, aku belum pernah menuliskan apapun tentangnya dan mem-publishnya kecuali di diary pribadi, tentu saja namanya hampir mengisi satu buku diary terakhirku. Aku yakin bukan karena tidak ada yang menarik tentangnya, tapi terkadang aku sendiri bingung kenapa, dan mungkin jawaban terlogisnya, aku tidak terlalu cukup kesepian untuk melarikan diri pada rangkaian tulisan dan sosial media. Tapi kali ini aku benar-benar ingin menulis secuil cerita tentang ku dengan nya, seorang sahabatku yang kini menjelma menjadi suamiku.
Pertama kali bertemu dengannya, sebenarnya mungkin bukan pertama kali, tapi ini pertemuan pertama yang masuk ke dalam ingatanku. Sekedar informasi, ingatanku tidak terlalu banyak menyimpan memori yang aku anggap tidak penting, bahkan beberapa kali aku buka lembar diary lama, dan aku sama sekali lupa kejadian yang pernah aku tuliskan disana, benar-benar lupa. Yah…pertama kali bertemu dengannya, adalah di warnet depan gang dekat kontrakanku. Saat itu kami sama-sama hanya menyapa dengan senyum, karena aku ragu dimana sebenarnya aku pernah melihatnya, dan ternyata dia adalah teman sekampusku, satu angkatan, satu kelas. Jangan salahkan aku, selain aku cuek, aku memang tidak hobby menghafal orang, apalagi satu kelas di kampus BSI ku dulu jumlahnya seratus lebih, jumlah yang wow untuk satu kelas perkuliahan tentunya, mungkin karena kami mengambil kelas malam, atau perkuliahan untuk para karyawan, yah…bisa jadi. Ada satu hal aneh dipertemuan pertama kami, saat itu di pikiranku langsung terbesit pemikiran, bahwa suatu saat sepertinya kita akan jadi orang dekat.
Waktu berlalu tanpa ada pertemuan lagi, hanya kadang sekilas melihatnya duduk di angkot saat dia berangkat kerja, dan aku masih berdiri di depan Alfamart, menunggu bis jemputan dari perusahaan tempatku bekerja.
Pertemuan kedua yang masuk dalam ingatan adalah, kenyataan bahwa sahabatku adalah seseorang yang dia suka saat itu. Dan itu membuat kami sering bertemu juga. Kala itu pertama kalinya aku harus membonceng motor, duduk di belakangnya. Kesan pertama adalah ‘bau asam’ (Sayang, aku harap kau tidak marah karena aku berkata jujur hahaha). yah…mungkin dia baru pulang kerja dan langsung main. Dan keunggulan hidungku memang memiliki penciuman yang tajam, hal ini pernah dibuktikan dengan game di facebook, hasilnya indra penciumanku adalah indra yang paling tajam. Dari sini aku sempat berpikir, kok sahabatku betah dengan dia sih? Baunya saja asam. Aku tidak pernah berpikir bahwa suatu saat di masa depan, bau asamnya adalah salah satu bau yang akan aku rindukan. Pada pertemuan kedua ini kembali sebuah pemikiran melintas di benakku. Entahlah….tapi saat itu aku berpikir bahwa suatu saat aku dan dia akan jadi kata kita, seperti berkata dialah jodohku. Hanya saja aku sempat meragukan sendiri pemikiran yang entah dari mana datangnya kala itu. Bagaimana mungkin dia suka padaku, dan aku suka padanya. Baunya saja aku tidak suka, apa karena nama nya sama dengan seseorang di masa lalu yang pernah aku sukai ‘Agung’, ah entahlah, dia saja sekarang sedang naksir sahabatku, yah walaupun tidak begitu dengan sahabatku. Sahabatku hanya menganggap dia orang baik yang bukan tipenya untuk dijadikan pacar. Lalu bagaimana ceritanya bila kelak kami harus jadian atau menjadi sepasang kekasih. Di sini rasanya aku mempertanyakan sekenario Tuhan, aku lupa bahwa Tuhan Maha segalanya, Dia bisa membuat sekenario seperti apapun Dia mau.
Waktu kembali berjalan, aku sering berselisih dengan sahabatku karena berbagai hal, maklum saja, kami sama-sama perempuan keras kepala. Justru aku makin dekat dengan Agung, dekat sebagai sahabat, dekat karena kami sering melakukan aktifitas yang sama. Kala itu status kami dari yang hanya sekedar kenal, jadi teman dekat, bahkan akhirnya jadi teman curhat. Intensitas pertemuan kami pun rasanya makin padat, tidak ada hari tanpa tidak melihatnya. Dari mengerjakan tugas kampus, mendaki gunung bersama, atau sekedar ngumpul bersama teman-teman kampus. Sampai beberapa orang bilang di mana ada aku di situ ada Agung.
Kedekatan kami lama-lama mulai menggangguku, dengan status kami sebagai teman tapi selalu bersama, banyak orang yang berspekulasi bahwa kami sebenarnya pacaran. Ini jelas membuat kartu mati untukku, akan menutup kemungkinan bila aku dekat dengan cowok lain. Dia mah enak, statusnya saat itu sudah punya pacar, bukan sahabatku, tapi rekan kerjanya. Tapi statusku yang single saat itu, akan benar-benar mati selama dia terus bersamaku. Sampai-sampai rasanya aku ingin pergi ke suatu tempat yang tidak dengannya. Kadang aku mengajaknya pergi bersama hanya basa basi, tapi dia meng-iyakan, wal hasil jadi basi beneran. Agung selalu menganggap bahwa aku teman, dan prinsipnya bahwa dia tidak akan memacari seseorang yang sudah dia labeli ‘teman’. Aku sendiri berprinsip tidak ingin menikah dengan seseorang yang lebih muda, karena terus terang aku lebih suka cowok matang yang tentu saja lebih tua dan dewasa. Bahkan demi menepis spekulasi bahwa kami pacaran, aku sering mengatakan bahwa dia hanya seorang ‘adik’, kadang aku menganggapnya adik betulan, karena memang dia lebih muda dariku. Teman cowokku banyak memang, bahkan teman mendaki gunung kebanyakan terdiri dari cowok, anehnya Cuma bersama Agung saja rasanya tiap berpose photo berdua aku merasa canggung, tidak ada perasaan suka saat itu, hanya saja pose kami pasti kaku.
Dua pemikiran yang pernah terbesit pada pertemuan pertama dan kedua ku dengan Agung selalu aku coba tepis, anehnya beberapa keinginan tersembunyiku justru selalu terwujud bersamanya. Aku pernah ingin merasakan di jemput pacar saat pulang kerja, tapi tahukah cowok yang pertama menjemputku saat pulang kerja adalah Agung. Aku pernah menginginkan menemani pacar main footsal atau olahraga apalah yang biasa cowok lakukan, tapi ternyata lagi-lagi orang yang mengajakku adalah Agung. Di situ kadang saya merasa sedih…hahaha aku bercanda, disini aku mulai merasa tidak enak, tapi untunglah Agung tidak pernah tahu semua itu.
Keinginan-keinginan lain yang akhirnya di masa depan aku tahu bahwa itu sudah Tuhan kabulkan adalah :
- Aku ingin memasangkan dasi untuk suamiku, tapi yah pertama kali nya aku memasangkan dasi di leher cowok adalah di leher Agung.
- Aku ingin pacarku datang saat aku wisuda, kenyataannya pacar ku saat itu tidak datang, tapi aku wisuda bersama Agung, yang kelak memang jadi pacar dan juga suamiku.
- Aku pernah naksir seseorang bernama ‘Agung S’ bahkan bermimpi menikah denganya, hahaha…kenyataanya aku memang menikah dengan seseorang bernama Agung, Agung S yang lain tentunya, toh Agung ini lebih memenuhi sarat hitam manis dari pada Agung terdahulu.
- Aku pernah berharap bahwa yang menjadi suamiku kelak adalah sahabatku, kenyataannya memang sahabat terdekatku yang kini menikah denganku.
- Aku pernah ingin mendaki gunung Kerinci dengan suamiku, dan saat itu aku sudah berpikir jangan-jangan Agung, kenyataannya memang aku mendaki gunung itu bersamanya, gunung-gunung lain memang ku daki juga bersamanya, tapi yang ini istimewa, karena kita mendaki dengan status suami-istri.
Aku tidak akan bercerita bagaimana persahabatan kita bisa berubah menjadi kata pacar dan suami istri, karena itu terlalu panjang. yang pasti kita termakan omongan sendiri, suamiku termakan omongan sendiri yang pernah bilan kalau tidak akan memacari seseorang dengan label teman, dan aku termakan omongan sendiri karena ternyata aku menikah dengan seorang yang lebih muda dariku. Tapi begitulah skenario Tuhan, akhirnya aku dan kamu benar-benar jadi ‘kita’. Dan perasaan hati kita kadang tidak salah, bahkan tidak pernah bohong. Biarkan waktu bercerita dan memaparkan alur cerita yang telah Tuhan ciptakan, kita pelan-pelan saja menjalaninya.
Terimakasih sayang, karena telah hadir melengkapi cerita ini.