Lihat ke Halaman Asli

Perlunya Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas di Sekolah

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Aksi yang dilakukan oleh Aliansi Perempuan Tolak Pemerkosaan di depan kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Rabu (17/10/2012) kembali mendengungkan pentingnya pendidikan seksualitas bagi remaja. Pendidikan seksualitas dianggap perlu, salah satunya agar remaja dapat melindungi dirinya dari segala bentuk tindakan pelecehan seksual. Namun, hal ini mendapat respon negatif dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh. Nuh mengatakan “Mengacu pada tradisi kita, membicarakan masalah seks adalah hal yang tidak sepantasnya, dan itulah pandangan saya. Saya yakin kita belum memerlukannya.” Ia juga mengatakan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi adalah tanggung jawab orang tua di dalam keluarga. (Jakarta Post, 18 Oktober 2012).

Terdapat beberapa persoalan penting yang menyebabkan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual tidak dapat hanya diberikan oleh orang tua dalam keluarga. Pertama, seperti juga Mohammad Nuh, orang tua merasa tabu untuk membicarakan seks dengan anaknya. Sehingga, anak tidak mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang benar dan komprehensif dalam keluarga. Hal ini ditemukan dalam survei baseline Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI (2012) mengenai Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual di delapan kota (Jakarta, Bandung, Semarang, Kulon Progo, Jombang, Banyuwangi, Pontianak, dan Bandar Lampung) yang melibatkan 918 responden siswa dan 128 responden guru dari 23 SLTA. Hanya sebesar 33% siswa yang orang tuanya memberikan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Lebih lanjut, ternyata sebanyak 57,7% siswa menyebutkan mereka pertama kali tahu informasi tentang kesehatan reproduksi dari sekolah.

Kedua, aspek kesehatan reproduksi dan seksualitas yang perlu diberikan pada remaja membutuhkan pengetahuan yang tidak semua orang tua memilikinya. Pada studi Puska Gender dan Seksualitas tersebut juga ditemukan bahwa orang tua menganggap perlu memberikan pengetahuan pada anak, tetapi merasa dirinya tidak cukup pengetahuan tentang hal tersebut dan tidak mengetahui cara yang tepat untuk menyampaikannya. Aspek pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif perlu mencakup materi perbedaan jenis kelamin dan gender, relasi gender, pengelolaan dorongan seksual, hak-hak reproduksi, pelecehan seksual, hingga HIV dan AIDS. Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual yang komprehensif tidak hanya memberikan pengetahuan tetapi juga memberdayakan remaja untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi kesehatan reproduksi dan seksualnya, termasuk misalnya menghindari tindakan pelecehan atau kekerasan seksual.

Ketiga, sekolah ternyata dapat menjadi media yang strategis untuk menyampaikan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual yang bertanggung jawab. Sudah menjadi kebutuhan sekolah menyampaikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual. Hal ini ditemukan dalam survei Puska Gender dan Seksualitas tersebut bahwa sebanyak 97,9% siswa menyatakan materi kesehatan reproduksi dan seksual perlu diberikan di sekolah. Guru juga sependapat dengan siswa, yaitu sebanyak 92,1% guru menyatakan materi tersebut perlu diberikan. Sesungguhnya materi terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksual telah diberikan dalam beberapa mata pelajaran seperti IPA/Biologi, Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan, dan Bimbingan Konseling. Namun, materi-materi tersebut masih berkisar tentang organ reproduksi dan belum mencakup materi yang diperlukan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan strategi pengintegrasian materi kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif dalam kurikulum mata pelajaran yang ada atau membuat mata pelajaran tersendiri untuk kesehatan reproduksi dan seksual. Sebanyak 62,7% guru dalam survei tersebut bahkan berpendapat kesehatan reproduksi perlu menjadi mata pelajaran tersendiri dengan alasan terutama untuk mencegah siswa berperilaku seks beresiko. Namun, guru membutuhkan panduan kurikulum nasional untuk memberikan pelajaran tersebut yang dinyatakan oleh 76,4% guru dan juga membutuhkan payung kebijakan pemerintah yang disebutkan oleh 85% guru.

Keempat, pemberian materi kesehatan reproduksi dan seksual dalam kurikulum sekolah sudah sangat diperlukan bagi remaja. Pendidikan tersebut diperlukan agar remaja dapat menghindari perilaku seks yang beresiko yang membahayakan kesehatan reproduksi dan seksualnya. Dalam survei Puska Gender dan Seksualitas tersebut, juga terungkap bahwa pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi dan seksual masih sangat terbatas. Sebagai contoh, masih banyak (36,3%) siswa yang tidak mengetahui bahwa hubungan seksual meskipun hanya satu kali pada masa subur dapat menyebabkan kehamilan. Sementara di sisi lain, remaja semakin aktif secara seksual yang membuat remaja semakin rentan terhadap kehamilan tidak diinginkan dan infeksi menular seksual atau HIV dan AIDS. Kasus HIV AIDS di Indonesia terbanyak merupakan kelompok usia 20-29 tahun yang mengindikasikan mereka terkena HIV 3-10 tahun sebelumnya (KPAN&Unicef, 2011). Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 mengungkapkan bahwa remaja berusia kurang dari sama dengan 19 tahun yang belum menikah namun memiliki pengalaman seks sebesar 3,6% dan 1% mengalami kehamilan tidak diinginkan. Kerentanan remaja juga terlihat dari kasus pelecehan seksual yang menimpa remaja, khususnya remaja perempuan, dari survei Puska Gender dan Seksualitas tersebut juga ditemukan sebanyak 5,2% responden mengaku pernah dipaksa melakukan hubungan seks dan mereka yang mengalami hal tersebut, 61,4% mengaku dipaksa oleh pacar mereka.

Kelima, sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual pada remaja. Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia telah menandatangani ICPD Programme of Action yang didalamnya terdapat mandat pemerintah untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi termasuk menjangkau sekolah. Target MDGs yaitu pengetahuan yang benar dan komprehensif tentang perlindungan terhadap HIV dan AIDS pada laki-laki dan perempuan kelompok usia 15-24 tahun akan sulit dicapai jika pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual tidak diberikan di sekolah.

Sudah saatnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengakomodasi kebutuhan siswa, orang tua, dan juga guru yang paling dekat dengan kehidupan remaja sehari-hari untuk memberikan ruang bagi diberikannya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual di sekolah. Kebutuhan terhadap pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual sudah menjadi isu yang perlu ditangani di tingkat nasional, bukan hanya tanggung jawab orang tua di lingkungan keluarga.

Diana Pakasi

Gabriella Devi

Pengajar FISIP UI dan Peneliti Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline