Langkah pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga membekukan PSSI sangat tidak tepat. Sepakbola adalah olahraga rakyat Indonesia. Sayang sekali segala apa yang sudah dibangun menjadi tidak kondusif, tidak hanya bagi pemain bahkan suporter.
Akibat pembekuan ini, PSSI telah menghentikan semua kompetisi tahun ini karena alasan keadaan memaksa, antara lain karena kepolisian tidak mengizinkan laga kompetisi digelar.
Pembekuan ini berefek besar : Jutaan suporter fanatik kecewa karena kehilangan tontonan favoritnya. Bagi suporter, seharusnya sepakbola adalah salah satu alat hiburan untuk mempersatukan bukan untuk memecah dan membelah rakyat.
Di sisi lain, sepak bola bukan sekadar permainan, tapi juga alat silaturahmi bagi masyarakat . Satu orang yang jarang bertemu bisa bertemu di sebuah pertandingan sepakbola. Atau orang yang tidak kenal sebelumnya menjadi kenal dan membuat aneka kegiatan positif berawal dari sepak bola.
Pemerintah seharusnya menyadari dampak luas dari pembekuan ini. Tak hanya soal mendamaikan dua pihak bertikai dan aturan-aturan organisasi yang harus ditegakkan. Tapi juga dampak sosial yang diakibatkan dari keputusan itu.
Kompetisi berhenti, biskis klub tidak jalan, dan pemain menganggur. Begitu juga manager, pelatih, semuanya menganggur . Padahal perusahaan sekelas Qatar National Bank (QNB) sudah berkomitmen dengan PSSI untuk mendanai satu musim kompetisi senilai 200 miliar rupiah. Satu angka yang amat besar.
Awal pembekuan PSSI karena kisruhnya dua club sepakbola. Apakah Kemenpora tidak menyerahkan pembenahannya kepada PSSI? Bisa jadi Kemenpora ini tidak paham apa-apa soal sepak bola, tetapi ingin ikut campur tangan dan ingin kelihatan seperti pahlawan.
Pemerintah dan PSSI sebagai yang diharapkan masyarakat untuk membuat sepak bola lebih maju. Harusnya mereka berkolaborasi dengan baik, berkolaborasi untuk kepentingan bersama.