Lihat ke Halaman Asli

Diana F Singgih

baru belajar menulis

Manusia Beruntung

Diperbarui: 23 Januari 2025   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Saya tidak pernah menilai diri saya pintar, baik dalam bidang akademis maupun di pergaulan. Di bidang akademis, nilai-nilai rapor saya sejak Sekolah Dasar dulu tidak cemerlang. Sekedar di atas rata-rata. Tidak ada angka merah, tapi tidak ada nilai sempurna. Yang penting naik kelas, lalu waktu SMA masuk di sekolah yang cukup bagus, lalu setelah sekali gagal mencoba masuk PTN, di tahun berikutnya saya diterima di jurusan favorit salah satu PTN di Bandung yang berlokasi di Dipati Ukur. Wah, siapa yang tidak bangga kuliah di situ. 

Masa kuliah saya jalankan terseok-seok karena ternyata saya tidak suka dengan jurusan yang saya ambil. Tapi saya tidak mau menyerah di tengah jalan. Apa yang sudah saya pilih, saya harus selesaikan. Pada akhirnya saya lulus di tahun ke 7, tertunda karena menikah di tahun ke 4, lalu pindah ke Jakarta karena suami bekerja di sana, hamil, melahirkan,  melalui masa bimbingan skripsi dengan commuting Jakarta-Bandung, dan akhirnya wisuda sarjana ketika hamil anak ke 2.

Menengok ke belakang, saya menilai faktor keberuntungan sangat punya andil di kehidupan saya. Perempuan yang tidak terlalu pandai, tidak pintar bergaul, tapi sangat beruntung. 

Saya beruntung mendapatkan suami yang pandai dan baik hati serta senang bersosialisasi. Temannya banyak. Jauh berbeda dengan saya yang lingkar pertemanannya sempit, dan sampai di usia sekian ini teman-teman masa kecil saya masih mengingat saya sebagai perempuan judes dan kaku. Old memories die hard.

Dalam bekerjapun saya tidak ada ambisi untuk mencapai posisi tinggi. Yang saya cari adalah work - life balance. Saya tidak mencari pekerjaan yang membuat saya stres atau harus sering pulang malam. Anak menjadi prioritas saya. Bersyukur dapat kantor dan atasan yang tidak bawel kalau saya mendadak harus cuti karena anak sakit, atau terpaksa terlambat datang karena hadir di pertemuan dengan sekolah. Punya anak-anak di usia muda punya tantangan sendiri. Di usia 24 saya melahirkan anak pertama dan ketika umur 33 tahun saya sudah punya 3 anak. 

Baru-baru ini saya menghadiri acara pengukuhan guru besar salah satu teman kuliah saya. Karena acara dilaksanakan di hari kerja, tidak banyak teman kami yang bisa hadir. Saya duduk berjajar dengan 3 teman kuliah, semua laki-laki, di baris ke 2 ruang pertemuan sebuah hotel. 

Di akhir orasi ilmiahnya, teman kami di podium sempat menyebutkan nama teman-teman kuliahnya yang datang, terima kasih teman-teman yang sudah hadir, pak X mantan direktur OJK, pak Y dosen pasca sarjana, pak Z notaris atau apalah, saya lupa profesi teman saya yang satu itu. Nama saya terlewat disebut, karena badan saya terhalang bapak-bapak yang duduk di depan saya. Dan karena kami sudah lama tidak berjumpa, saya rasa teman saya tsb mungkin tidak ingat dengan nama saya. 

Sampai di rumah saya ceritakan ke suami hal tsb sambil tertawa. Tak ada rasa kecewa atau sakit hati di hati saya. Saya anggap itu biasa, lagipula memang saya tidak punya gelar apa-apa, hanya pensiunan karyawan perusahaan swasta, tidak seperti teman-teman kuliah saya yang di usia menjelang 60 ini masih banyak yang aktif. Ada yang jadi dubes,  ada yang punya jabatan tinggi di instansi pemerintah, ada yang jadi dekan, doktor, guru besar, punya lawfirm, jadi notaris, dsb.

Suami saya, seperti biasa, selalu berpikir positif dan pintar membesarkan hati. Terhadap kalimat saya, ah aku kan memang gak berhasil  seperti teman-teman lainnya. Suami saya berkata, lho kamu tuh berhasil lho, lihat anak-anak kita yang semuanya pintar dan membanggakan.

Saya beruntung dikarunia anak-anak yang pintar dan baik. Pintar akademis seperti bapaknya. 2 dari 3 anak pintar bergaul seperti bapaknya, sedangkan yang bungsu lebih suka diam di rumah seperti saya. Sejak kecil, nilai rapor mereka selalu prima. Mereka anak-anak yang tidak bermasalah. Saya tidak pernah dipanggil wali kelas karena nilai rapor atau masalah lain. Kalaupun saya hadir di sekolah, itu karena anak saya menjadi juara suatu kejuaraan. Di lemari kaca, cukup banyak koleksi piala dari 3 anak, baik dari bidang agama atau sains. Setelah bersekolah di SD dan SMP Swasta, anak-anak bergantian diterima di SMA unggulan di Jakarta, lalu kuliah di universitas yang sama seperti bapaknya, institut teknologi ternama di Bandung. Semuanya lulus tepat waktu, bekerja di tempat yang baik, dan mendapatkan jodoh di usia yang tepat. 

Ada moment-moment di mana saya berpikir dan kuatir jangan-jangan yang saya terima ini istidraj. Menakutkan sekali. Pikiran seperti itu biasanya akan membuat saya jadi lebih rajin beribadah, dan berusaha konsisten melakukan perbuatan baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline