Aku rindu indahmu, Semeru
Ingin aku kembali menjelajahi lerengmu menuju Ranu Kumbolo, menapaki lembahmu, lalu malamnya meresapi kesunyian sembari menatap selaksa gemintang menghiasi gelapnya langit. Aku dengar engkau batuk-batuk lagi. Batuk yang membuat hati para perindu makin meronta.
Masih ingat aku pertama melihatmu. Perjalanan panjang dari Ranu Pani melintasi jalan setapak. Matahari tak garang meski baru melewati tengah hari. Angin berdesau di antara pepohonan. Hanya suara angin dan serangga di situ. 3 jam lebih kami berjalan, rehat sebentar di pos yang tersedia.
"Sebentar lagi bu, setelah belokan di depan", kata guide yang mengantar kami.
Benar saja, di balik tikungan, di antara perdu dan pepohonan, langkahku terhenti, nafasku tercekat. Indahnya ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Di bawah sana terbentang Ranu Kumbolo, yang sejak remaja sudah kuimpikan, dan makin ingin kudatangi setelah membaca novel 5CM. Tapi baru bisa kujejakkan kakiku di sini waktu Covid19 melanda. Awan putih mengambang di atas permukaan danau. Perdu-perdu edelweis yang mulai berbunga bertebaran di lereng.
Cepatlah sembuh, Semeru.
Agustus adalah bulan yang dinanti para pendaki. Dalam bayanganku, tenda-tenda akan tumbuh seperti jamur di musim hujan. Beruntung ada sistem booking online dan kuota 150 pendaki per hari di sini. Setelah makan malam dan istirahat sejenak di kemah, lepas tengah malam para pendaki akan bersiap meninggalkan kemahnya, mendaki Tanjakan Cinta, melewati padang rumput Oro-oro Ombo, menuju Kalimati untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan pendakian sampai di puncak Mahameru untuk memasang merah putih di perayaan kemerdekaan.
Aku tak pernah sampai di puncak. Aku memilih diam di Ranu Kumbolo. Meski dinginnya malam di musim kemarau begitu menusuk, aku tak apa. Meski suara genset mengganggu keheningan malam, aku tak peduli. Ranu Kumbolo sudah mencuri hatiku.