"A part of our brain that used to store phone numbers is now idle". Saya baca ini beberapa waktu lalu. Dan menempel di ingatan, tak mau pergi.
Tulisan simple yang pasti relate dengan generasi sebelum terciptanya ponsel. GenX dan Gen baby boomers terutama.
Tak usah membahas bahwa otak tak akan membiarkan syaraf-syaraf pengingatnya menganggur karena sebagian fungsinya sudah tergantikan dengan memori di ponsel. Saya lebih suka mengajak pembaca kembali ke masa lalu. Masa di mana teknologi belum secanggih saat ini.
1. Telepon
Jaman ketika telepon masih model engkol, telepon analog, dengan lingkaran berlubang bertuliskan angka 1 sampai 0. Yang bunyinya semua sama, tak bisa diganti seperti kita mengganti nada dering di ponsel. Jaman telepon masih pakai kabel, gak akan ketlisut seperti ketika perangkat telpon rumah mulai ada opsi wireless. Kadang pengguna tidak tertib mengembalikan gagang telpon ke tempatnya jadi pengguna berikutnya kelabakan waktu mau menelpon.
Waktu saya kecil telpon masih menjadi barang ajaib, apalagi di kota kecil di Jawa Timur sana. Saya ingat betul cerita ibu saya kalau saya pernah menangis kencang ketika ada teman TK saya menelpon. Kata beliau, saya menangis karena takut mendengar ada suara keluar dari gagang telpon.
Memori otak saya bahkan masih ingat nomer telpon fixed line di rumah orang tua di Bandung dulu, rumah tua yang sejak 1988 tak lagi jadi milik kami. Rumah besar 3 lantai dengan pojok kecil di bawah tangga di ruang tamu tempat meja telpon berada. Belum ada teknologi speed dial jadi saya harus menghafal nomer-nomer yang sering dihubungi. Nomer telpon kantor ayah, nomer telpon sahabat, kerabat, dan tentunya nomer telpon gebetan.
Paling sebal kalau telpon berdering di malam hari ketika semua anggota keluarga sudah masuk kamar masing-masing. Ada koneksi paralel di kamar orang tua saya tapi kalau mereka kebetulan sedang di luar kota, terpaksa salah satu dari kami anak-anak harus turun menjawab panggilan. Kamar anak-anak semuanya di lantai atas dan rumah tua kami agak spooky jadi PR banget kalau harus keluar kamar dan turun tangga dalam kegelapan.
Sebal juga ketika kakak-kakak perempuan (saya punya 3 kakak perempuan) mulai remaja dan punya banyak pengagum. Sulit sekali menunggu telepon tak dipakai supaya saya bisa diam-diam menelpon gebetan.
2. Alat pemutar musik dan lagu
Jaman ketika alat perekam musik dan lagu masih berupa piringan hitam atau vynil, lalu berganti kaset atau tape recorder. Yang kalau mau diputar ulang kita keluarkan kasetnya lalu kita gulung mundur menggunakan pensil. Kaset berganti compact disc, lalu sekarang semuanya extinct.