Menyusuri jalanan kota Bandung, cangkir kenanganku luber tumpah ruah.
Dimulai dari Jl. Ir H Juanda, famously known as Jl Dago, pertengahan tahun 80 di sini adalah tempat kami, saya dan sahabat2 masa kuliah, JJS alias jalan-jalan sore. Kalau Jakarta terkenal dengan Lintas Melawai, maka anak muda Bandung mondar mandir di Dago dengan roda empat, ada yang bodynya diceperin, knalpot diganti, kaca jendela diturunkan supaya nampak pengemudi dengan kaca mata hitam yang tak lupa dikenakan. Saking seringnya melintas di situ, ada beberapa kendaraan yang kami hafal. Mungkin mereka juga hafal dengan kendaraan kami. Tapi tak pernah terbersit di hati kami saat itu untuk turun dan berkenalan dengan sesama 'pelanggan lintas Dago'.
Bangunan di sepanjang Dago di masa lalu hanya berisi hunian, bangunan kuno berlahan luas. Tak ada factory outlet atau restoran dan kantor-kantor bank seperti saat ini. Yang favorit untuk singgah sejenak adalah yogurt Columbia. Kalau saya lebih suka yogurt di Cisangkuy karena tempatnya lebih asik untuk duduk ngobrol lebih lama.
Turun ke arah Jl. Merdeka, melewati sekolah saya saat SD dan SMP, sekolah Katolik yang terkenal sebagai sekolah khusus perempuan. Tapi persis ketika saya masuk SMP, sekolah memutuskan untuk menerima siswa laki-laki. Seingatku hanya beberapa tahun saja ada siswa laki-laki.
Sampai saat ini persahabatan di antara kami masih terjaga meski sudah lebih dari 40 tahun lulus. Media sosial Facebook mempertemukan dan mengakrabkan kami yang berlanjut dengan reuni-reuni offline entah di Bandung atau Jakarta. Pada reuni pertama yang saya hadiri sekitar tahun 2009, saya baru menyadari kalau ternyata banyak sekali teman-teman lama saya itu berhijab. Sepertinya karena di akhir tahun 70an (saya lulus SMP thn 81) tidak mudah mencari sekolah Islam yang bagus di tengah kota.
Jadi orang tua kami memasukkan anak2 perempuannya ke St. Angela, dan anak2 laki2 ke St Yosef lanjut ke St Aloysius. Tapi adik2 yang besar di Jakarta setelah bapak pindah kerja ke sana, disekolahkan di Al Azhar dan Muhammadiyah.
Perjalananku berlanjut. Melewati tempat yang dulunya menjadi studio foto andalan yaitu Seni Abadi. Kaget betul mendengar berita mereka berhenti beroperasi di tanggal 1 April 2024. Dulu kalau mau foto keluarga, mau cuci cetak rol film, pasti kami dan banyak warga Bandung lainnya, akan pergi ke sana.
Di ujung jalan, pertigaan antara Jl. Merdeka dan Jl. Lembong, persis di seberang lokasi yang kini dipakai menjadi bank, dulu ada penjahit langganan ibu saya. Jahitannya bagus dan rapi. Ibu saya selalu menjahitkan blus dan gaunnya di situ, sedangkan untuk jas dan hem bapak, beliau punya tailor khusus.
Belok ke Jl. Tamblong, ada restoran es krim yang terkenal. Kalau Jakarta punya Ragusa dan Malang punya Oen, Bandung punya PT Rasa. Sampai sekarang namanya tak berubah. Interiornya juga masih tempo doeloe. Tapi sejatinya saya sudah lupa seperti apa interiornya jaman dulu karena kami tidak sering berkunjung ke situ. Saat itu belum ada Haagen Dasz atau gelato kekinian yang banyak menjamur.
Jalan Braga, jalan favorit saya selain Dago. Batu andesitnya memikat, mengingatkan pada jalanan kota tua di Eropa. Sisi kiri kanan kini penuh dengan kedai kopi, bahkan yang dulunya toko buku Djawa dan kantor gas negara sekarang berubah juga menjadi kedai kopi. Yang masih bertahan hanya sedikit, seperti restoran Braga Permai, toko roti Canary, dan penjual lukisan yang digelar di emperan.
Sekarang juga banyak street fotografer yang menawarkan jasa memotret dan hasilnya langsung dikirim ke ponsel pelanggan. Jalan Braga pantasnya dibebaskan dari kendaraan bermotor. Pemkot perlu mencarikan lahan untuk parkir kendaraan dan pengunjung dipersilakan jalan kaki menikmati keindahan arsitektur tanpa kuatir diserempet kendaraan.