Lihat ke Halaman Asli

Untukmu Sang Calon Pemimpin Daerah

Diperbarui: 10 Desember 2015   02:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemilihan Kepala Daerah telah berlangsung serentak di seluruh wilayah di Indonesia. Kampanye dari masing - masing calon pun sudah mereka lakukan. Dari orasi, penempelan poster, dan beberapa kampanye pada umumnya guna memikat hati masyarakat. 

"Apakah masyarakat mendengar?"

Mungkin hanya sebagian masyarakat yang bisa memilih dan memilah seperti apa sosok yang pantas memimpin mereka. Karena kebanyakan masyarakat tidak mengerti akan hal itu, khususnya masyarakat di pedesaan yang minim akan pendidikan. Dengan keterbatasan itu, tidak jarang bagi para pelaku yang licik untuk memanfaatkan hal itu. 

Tidak bisa di pungkiri, praktek bagi - bagi uang dari sang calon pemimpin pun begitu marak di kalangan masyarakat. "Siapa yang tidak senang, ada orang yang begitu rela membagi - bagikan uang secara "Cuma - Cuma"? Ya, bagi rakyat memang "Cuma - Cuma." 

"Tapi, apakah benar itu adalah cuma - cuma?" 

Kalau masyarakat itu berpikir lebih jauh dan mempunyai pandangan yang luas, mungkin mereka akan menolak. Hal seperti ini seperti suatu garis lingkaran yang tidak berujung. Terus berputar dan saling berkaitan. 

"Kenapa di katakan demikian?" Kita lihat permasalahnnya dulu. Pada umumnya dan bahkan kebanyakan dari masyarakat pedesaan mereka hidup pas - pasan. Latar belakang pendidikannya pun bisa di katakan kurang. Jangankan untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, untuk mereka makan pun mereka sudah bersyukur. Meskipun sekarang ada bantuan sekolah gratis, tapi tidak banyak membantu mereka pada umumnya. 

Kemudian datanglah sang calon pemimpin dengan membawa segudang janji dan beberapa amplop berisikan selembar uang. Mereka membagikan uangnya kepada masyarakat dengan catatan, masyarakat harus memilih sang calon. 

Di karenakan tadi, kondisi masyarakat seperti itu. Mereka tidak menolak apa yang telah mereka terima. Mereka begitu polos, mereka menuruti apa yang sang calon pemimpin katakan, dengan memilihnya. Mungkin sebagai rasa terima kasih, mereka memilihnya. 

"Toh, hanya mencontreng saja dapet amplop."Mungkin seperti itu yang mereka pikirkan. 

Perlunya pemahaman dan sosialisasi kepeda masyarakat khususnya di pedesaan mungkin bisa mengurangi kasus seperti itu dan bisa memutus lingkaran tersebut. Pendidikan gratis sampai perguruan tinggi. Yang di harapkan akan membawa masyarakat pedesaan ke arah yang lebih baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline