Lihat ke Halaman Asli

Diana PutriArini

Diana Putri Arini

Hal yang Belum Selesai di Balik Nama Besar Seseorang

Diperbarui: 27 Juli 2021   15:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku teringat sewaktu kuliah ada dosen yang terlibat karena pelecehan seksual dengan mahasiswa, gelarnya Doktor menuju ke professor, dia dikenal baik dan terdidik, bisa dilihat dengan hasil risetnya dan reputasi ilmiahnya. Situasi ini membuat nama baiknya hancur, dia dipandang orang mesum, otak kotor. 

Sejauh apapun dia cuci tangan akan masalah ini, sanksi sosial sebagai pelaku pelecehan seksual melekat dengannya. Aku mengenal rekan kerjaku, ia dikenal dengan pribadi yang baik, suka membantu, cerdas, dan aktif. Reputasi sosialnya bagus sebagai pimpinan beliau adalah orang yang demokratis, sitasinya banyak dari tahun 2016-2020 mencapai 147 sitasi.

Karirnya hancur karena ia terlibat kasus pencabulan anak dibawah umur, ia mendapatkan sanksi sosial dan hukum. Sebagai manusia aku mengecam aksinya yang menghancurkan nasib anak dibawah umur. Namun sebagai akademisi yang sama sepertinya aku merasa prihatin. 

Aku tahu betapa sulitnya membangun karir sebagai akademisi, bukan hal mudah untuk mengajukan penelitian untuk mendapatkan hibah dan publikasi. Memulai karir dari nol agar reputasi keilmuan kita diakui minimal oleh rekan sejawat tentu memiliki dinamika sendiri. 

Rekanku bercerita mengenai atasannya yang menyebalkan, bekerja di kampus berlatar belakang keagamaan dan berpendidikan belum tentu membuatnya dapat memanusiakan manusia. 

Atasan temanku memiliki kepribadian kecenderungan narsistik terlihat darinya membutuhkan pengakuan besar dari orang sekitarnya namun tidak sebanding dengan upaya yang dicapai. Ia suka meremehkan pencapaian orang lain dengan pernyataan yang menyakitkan di dalam forum ataupun diluar forum. 

Aku teringat dengan teori kepribadian dari Fritz Perls mengenai manusia seutuhnya menuju kesempurnaan diri. Ketika ada hal yang belum selesai dalam diri ia akan mencari-cari kompensasi dalam rangka untuk menutupi ketidaksempurnaan.

Seseorang yang memiliki luka dalam diri terhadap harga dirinya, ada bagian dirinya pernah dikerdilkan dan diremehkan, jika hal ini belum selesai, maka ia akan berusaha mendapatkan pengakuan di lingkungan dengan berbagai cara, entah melalui pencapaian pribadi yang dilebih-lebihkan dan kebanggaan akan kekuasaan. 

Klienku dulu seorang abdi negara yang dipandang hebat oleh masyarakat, sewaktu kecil pernah mendapatkan bully karena cadelnya dan gagap bicara. Sekarang ia masuk sekolah pemerintahan, ia bangga dengan seragamnya. Ia posting dirinya mengenakan seragam dan senjatanya. Darisini kita bisa memahami arti seragam pemerintah itu bagi dirinya untuk meningkatkan harga diri dan mengurangi kecemasannya. 

Sigmund Freud mengatakan pada dasarnya manusia memiliki strategi untuk perlindungan ego ketika kita mengalami situasi yang dianggap mencemaskan. Masalahnya apakah kamu menyadari jika kamu memiliki strategi ego seperti ini. Misalkan seseorang yang mengalami kekesalan dengan atasan atau orang yang tidak seharusnya ia marahi, ia melampiaskan pada barang atau orang terdekatnya sebagai bentuk mengurangi konflik dalam diri. 

Kembali pada hal yang belum selesai pada diri, betapa pentingnya menyadari bentuk luka kita, trauma, kekecewaan dan harapan yang kita inginkan. Saya yakin kita semua menginginkan reputasi yang baik dalam hidup, namun apakah reputasi yang kita miliki adalah kedok untuk mengatasi bentuk inferioritas dalam diri??




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline