Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, kita pasti sudah diperkenalkan bahwa guru adalah orang tua kedua selama di sekolah. Jadi, pantas saja bila para guru selalu memberikan perhatian kepada murid-muridnya di sekolah layaknya anak sendiri. Namun, tak jarang bagi beberapa murid memberikan nilai kepada seorang guru bahwa guru tersebut pilih kasih terhadap murid-muridnya dan secara tak sadar sang guru pun memang benar-benar tak tahu bahwa ada selentingan kabar yang menilai bahwa dirinya adalah sosok guru yang pilih kasih.
Padahal guru tersebut tak pernah ada niat membeda-bedakan murid-murid didikannya di sekolah, tapi kebiasaan dalam gaya mengajarnya di dalam kelas atau di luar kelas bisa saja menjadi penyebab munculnya penilaian tersebut terhadapnya. Dalam kebiasaan tersebut, si guru hanya memperhatikan murid didikannya yang ia kenal saja, antara lain seperti ini.
1. Ketika sedang mengajar di dalam kelas, guru tersebut selalu memeriksa ke meja murid yang itu-itu saja (biasanya murid yang pintar). Karena selain menjelaskan di depan papan tulis, biasanya guru akan keliling untuk memeriksa sambil mengajarkan bagian soal mana saja yang belum dimengerti oleh muridnya. Nah, kebiasaan guru yang selalu mampir di meja murid itu lagi itu lagi akan membuat para murid yang lain akan sirik, termasuk murid yang mejanya dilewati begitu saja. Mungkin si guru males kalau ke meja murid yang lain, toh percuma mereka cuma cengangas-cengenges saja kalau dijelasin.
2. Biasanya ketika menjelaskan pelajaran seorang guru akan mengambil contoh soal buatan sendiri. Karena hanya mengenal beberapa murid saja, seorang guru biasanya hanya menggunakan nama-nama murid yang dia kenal saja sebagai contoh untuk soalnya dan contoh nama murid yang dipakai biasanya murid yang pintar dan nakal saja. Jadi, tak jarang murid-murid lain yang tak dikenal beranggapan bahwa mereka hanya pemadu sorak di dalam kelas.
3. Nah, yang selanjutnya adalah hal yang tak asing lagi baik, di dunia nyata bahkan dunia sinetron, yaitu status sosial seorang murid mempengaruhi gaya mengajar, misalnya karena ada salah satu peserta didiknya seorang anak jenderal atau pak lurah, jadi si murid sudah cukup dikenal para guru dengan status sosialnya yang istimewa tersebut. Kemudian murid yang lain akan beranggapan bahwa si guru akan memberikan perhatian lebih kepada anak tersebut. Memang kadang seperti itu kenyataannya.
4. Ketika menjelaskan pelajaran, mata guru tersebut hanya mengarah kepada yang itu-itu saja sambil menanyakan apakah sudah paham. Misalnya murid yang pintar di kelas adalah si Ujang, maka perhatian si guru hanya kepada si Ujang ketika mengajar sambil bertanya "Gimana ujang, ngerti?" Dan muncullah istilah "Anak emas atau anak kesayangan" dari murid-murid yang lain karena si Ujang lagi si Ujang lagi yang dikasih perhatian lebih. Memang guru tersebut menjelaskan pelajaran kepada semua muridnya di dalam kelas, tapi tetap saja tak enak rasanya jika diperlakukan seperti itu.
5. Biasanya seorang guru juga akan terlihat akrab dengan murid yang duduk di kursi paling depan dibanding kursi yang belakang. Sang guru akan memperhatikan dan mengenali namanya dengan mudah, padahal murid-murid yang duduk di kursi belakang pun bisa jadi lebih membutuhkan komunikasi dan perhatian dari sang guru. Karena biasanya yang duduk di kursi belakang itu murid-murid yang senang bercanda heheee, berbeda dengan yang duduk di kursi paling depan yang lebih aktif dan pintar.
Bagaimanapun itu sejatinya pekerjaan seorang guru adalah pekerjaan yang sangat mulia, dan aku pun tak bisa selamanya beranggapan bahwa ada beberapa guru yang pilih kasih karena menurutku letaknya ada pada seberapa dalam pengenalan guru tersebut kepada murid-muridnya. Mungkin mereka pun kesulitan untuk mengenali satu per satu muridnya yang begitu banyak, tapi itu harus dilakukan.
Karena seorang guru biasanya hanya mengenal murid yang berprestasi, memiliki status sosial yang hebat, dan murid yang biang kerok saja, lantas bagaimana dengan mereka yang biasa-biasa saja? Apa harus dianggap pelengkap sebagai syarat berlangsungnya proses belajar-mengajar saja, jelas tidak.
Seorang guru pasti punya banyak cara menarik untuk mengenal murid-muridnya masing-masing sehingga tak ada rasa kecemburuan terhadap seorang murid. Ketika di sekolah aku pun tak memungkiri beberapa kawanku yang terlihat biasa-biasa saja merasa malu bertanya kepada guru ketika mereka kesulitan dalam belajarnya karena mereka memang tak pernah berkomunikasi dengan guru. Jadi mereka hanya sekedar datang dan duduk saja di kelas. Yang parahnya lagi sang guru tak pernah mencoba berkomunikasi dengan mereka yang biasa-biasa saja. Jadilah seperti ada semacam kesalahpahaman. Si murid malu bertanya dan si guru tidak peka dengan keadaan, ya bingung deh aku hehee.
Apa pun alasannya, bagiku semua murid layak untuk diperlakukan dengan sama walau ketika memberikan uang sumbangan untuk pembangunan sekolah tak selalu sama jumlahnya. Membangun komunikasi antara guru dan murid sangatlah penting karena kegagalan dalam proses belajar-mengajar bisa terjadi karena kurangnya komunikasi guru terhadap semua murid didikannya. Jadi, sudah seharusnya para guru mengenali murid-muridnya baik dari yang duduk di kursi depan sampai ke pojokan paling belakang agar tak dinilai pilih kasih.