Lihat ke Halaman Asli

Diana Tri Hartati

penulis buku anak, penulis artikel

Semangat Sang Tunanetra yang Tak Pernah Padam

Diperbarui: 18 Desember 2022   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Ketika rasa syukur mulai menipis, lihatlah mereka yang berada di bawah kita niscaya kita 'kan segera sadar betapa besar karunia yang Tuhan berikan untuk kita

 

Suara sepeda motor menderu memasuki halaman kantor pagi itu. Waktu menunjukkan pukul 07.45. Saya yang tengah membersihkan meja kerja pun mendongak, melihat siapa yang datang. Ah, ternyata salah satu rekan kerja saya yang hebat yang barusan datang. Sejenak saya memperhatikannya. Dengan tertatih ia turun dari sepeda motor, lalu setelah berbasa-basi dengan mas gojek dan membayar uang transport, ia pun melangkah masuk ke kantor.

Saya menyapanya, mengucapkan selamat pagi sambil terus melanjutkan aktivitas. Dengan keramahannya yang 100% asli tanpa pemanis buatan maupun tambahan penyedap rasa ia menjawab sapaan saya. Selanjutnya ia berjalan menuju ruang kerjanya yang berada  di lantai dua gedung kantor kami.

Sebut saja namanya Akang. Secara nama aslinya saya juga tidak tahu karena saya tidak pernah menanyakan padanya maupun melihat KTPnya. Hehehe. Secara kebetulan kami dipertemukan di tempat kerja yang sama, bedanya ia adalah penyiar radio, sedangkan saya adalah salah seorang admin. Ya, kami bekerja di salah satu stasiun radio.

Profesi penyiar radio mungkin tak asing lagi bagi kita, namun satu hal yang membuat saya kagum adalah karena ia adalah seorang tunanetra. Pada saat pertama kali bertemu dengannya saya sempat tak percaya dengan kemampuannya. Dalam hati saya bertanya-tanya, hmm mungkinkah dalam kondisinya itu ia bisa melaksanakan pekerjaannya? Membaca pesan di WhatsApp atau sms, bukankah kita harus menggunakan mata?

Saya tidak pernah menanyakan secara langsung kepadanya karena khawatir hal itu akan menyinggung perasaannya, namun setelah beberapa saat lamanya kami bergaul saya bisa menyelami dirinya sebagai seorang yang tidak mudah tersinggung. Kami sering ngobrol ngalor-ngidul seputar anak, pekerjaan dan lain sebagainya. Ternyata ia seorang yang sangat humoris.

Pernah suatu ketika saya sedang mengetik lembar kerja. Tiba-tiba Akang datang dan duduk di hadapan saya. Ia pun nyeletuk,"Mbak Diana pasti menggunakan dua jari ya ngetiknya?" ia tertawa terbahak. Saya sangat kaget, kok ia bisa tahu saya hanya menggunakan dua jari, dan memang saat itu benar adanya saya menggunakan dua jari dari tangan saya. Hehehe. 

Nah, karena Akang seorang yang humoris akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya tentang kondisinya dan bagaimana ia bisa menghandle pekerjaannya dengan kondisi keterbatasannya tersebut.

Ia mengaku mulai mengalami kelainan pada matanya saat kelas 5 Sekolah Dasar. Setelah ia sakit demam, pandangan matanya sedikit kabur. Ia mengatakan hal itu pada orangtuanya namun karena orangtuanya bukan orang berpunya maka upaya yang dilakukan tidaklah maksimal. Dari waktu ke waktu pandangannya semakin kabur, dan setelah itu ia mengalami kebutaan total. Ia tidak lagi bisa melihat apa pun di sekelilingnya.

Apa yang dirasakannya saat itu tidak bisa digambarkan. Depresi? pasti. Di masa pertumbuhan dan perkembangannya, ia harus kehilangan netranya. Sebagai seorang anak berusia sekitar 11 tahun, yang bisa ia lakukan hanyalah menangis. Tak tahu lagi selain itu, dan hanyalah gelap, gelap dan gelap. Orangtuanya pun shock dan tentu sangat sedih. Bagaimana masa depan sang putra dalam keadaan tunanetra?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline