Lihat ke Halaman Asli

Diana Widiastuti

Saya mengelola satuan PAUD di Kota Yogyakarta

Stereotip Peran Gender dalam Perkembangan Remaja

Diperbarui: 5 Juli 2023   07:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Remaja adalah anak pada tahap usia 13 -20 tahun. Karakter dasar umum remaja antara lain, ada kemauan berkembang, berani bertindak, kreatifitas yang tinggi, idealisme yang menonjol, ingin tampil beda, butuh pujian dan perhatian, kekuatan fisik yang prima, semangat kejujuran dan kesetiaan terhadap sesuatu yang diyakininya.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pengertian gender adalah pembedaan peran, tanggung jawab, posisi, dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat. Menurut Yanti Muchtar (2002), gender adalah jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Menurut Mansour Fakih (2007), pengertian gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.

Dari beberapa pengertian diatas, dapat kita simpulkan bahwa gender mengacu pada peran, perilaku, ekspresi, dan identitas seseorang yang dikonstruksi secara sosial di masyarakat, baik terhadap laki-laki maupun perempuan (bukan kodrati). Gender mempengaruhi bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri dan orang lain, bagaimana berinteraksi dan bertindak, serta mempengarhi distribusi kekuasaan dan sumber daya yang ada di masyarakat. (Enik Mutiarsih dan Agus Sekti, 2007)

Stereotip peran gender dialami anak sejak usia pra sekolah, bahkan sejak bayi. Hal ini banyak dikuatkan oleh perilaku orang dewasa di sekitarnya. Misalnya, anak laki-laki tidak boleh bermain masak-masakan, anak perempuan tidak boleh bermain mobil-mobilan; anak laki-laki boleh bermain bola, anak perempuan tidak boleh. Stereotipe ini akan terus terbawa hingga remaja, bahkan dewasa.

Ketika membaca nama depan seseorang, pikiran kita akan langsung tertuju pada jenis kelamin. Jenis kelamin didefinisikan sebagai istilah biologis berdasarkan anatomi dan penampilan fisik. Sedangkan gender merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan peran, tingkah laku, maskulinitas atau feminitas, serta atribut lain sesuai dengan budaya setempat, sehingga ada perbedaan besar cara pandang kita dalam memperlakukannya.

Usia remaja menjadi momen penting pertumbuhan pribadi dan karakter gendernya. Seorang anak remaja harus memiliki ruang ekspresi dirinya dan membutuhkan pengakuan dari orang lain. Masuk dalam kelompok sebaya memang menjadi ajang untuk memperkuat karakter gendernya.

Banyak orangtua yang memang memperlakukan anak perempuannya berbeda dengan anak laki-lakinya. Terhadap perempuan, orangtua akan lebih lembut dan menjaga perasaannya. Berbeda terhadap anak laki-laki, orangtua biasanya lebih tegas, banyak menuntut untuk lebih kuat dibanding dengan anak perempuan. Memang anak perempuan lebih memiliki kekayaan perasaan, lebih banyak mengelola setiap masalah dengan empati.

Menjadi berbahaya ketika lingkungan memberi tekanan amat kuat pada peran karakter maskulin pada anak laki-laki. Tekanan yang amat kuat akan menimbulkan gejala agresi dan kekerasan fisik maupun mental, misalnya dengan kekerasan fisik hingga penganiayaan. Seperti kejadian yang sedang viral baru-baru ini, seorang ayah berinisial RIS sering menganiaya dan melakukan kekerasan verbal terhadap anak laki-lakinya yang sedang memasuki masa remaja. Perbuatan seperti ini tentu saja akan meninggalkan trauma bagi anak dan akan mengganggu perkembangannya.

Menjadi berbahaya pula ketika lingkungan memberi tekanan terlalu berlebihan terhadap feminitas anak perempuan. Untuk menutupi rasa tidak berdayanya terhadap laki-laki, mengakibatkan anak perempuan sering menggunakan daya tarik fisik untuk menaklukkan laki-laki. Fenomena remaja berpacaran semakin memprihatinkan. Beberapa waktu lalu, beredar video tiktok anak SMP dengan bangganya berjoget-joget bersama beberapa teman sambil payudaranya diremas oleh teman laki-lakinya. Banyak juga beredar video anak-anak remaja memamerkan payudaranya. Sungguh sangat memprihatinkan.

Jadi, bagaimana seharusnya kita, sebagai orangtua, menyikapi peran gender ini terhadap perkembangan remaja ? Padahal stereotip peran gender sudah melekat kuat di dalam diri kita dan masyarakat kita.

Tetaplah membangun komunikasi dan interaksi langsung yang tidak mematahkan semangat remaja. Memberi ruang gerak bagi remaja untuk berekspresi sesuai minatnya. Sekarang sudah zamannya tidak ada pengkotak-kotakan pekerjaan atas jenis kelamin tertentu. Pekerjaan di dapur bukan hanya milik perempuan, profesi sebagai koki banyak disandang laki-laki. Juga dengan penata rias, desainer, penata rambut, dan guru PAUD sudah banyak disandang laki-laki. Demikian pula sebaliknya, beberapa perempuan memilih melakukan pekerjaan sebagai sopir bus, tukang parkir, kuli panggul, montir, dan lain-lain. Sebenarnya remaja hanya butuh dorongan semangat dan dukungan moril dari lingkungannya, orangtua, guru, dan rekan sebayanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline