Lihat ke Halaman Asli

Mitos Pemerintahan di Lumajang

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan pertama di kompasiana akan saya gunakan untuk menanggapi tentang pandangan jalannya pemerintahan di daerah. Khususnya di Lumajang. Sebuah kota kecil di Jawa Timur yang punya potensi sangat besar dengan sumber daya alam melimpah.

Potensi itu terekam dari geografis letak Lumajang. Tempat bercokolnya gunung Semeru, berbatasan langsung dengan samudra Hindia, dengan panjang pantai mencapai 170 km melengkung ke arah daratan. Dari situ saja bisa dilihat betapa Lumajang ini mempunyai potensi pertanian, perikanan, dan juga peternakan yang luar biasa.

Saya tidak akan membesar-besarkan berapa potensi Lumajang itu. Karena semua potensi itu tertutupi dengan budaya masyarakat foedal. Di sini seorang pemimpin pemerintahan selalu punya kompromi dengan para preman.

Preman ini bukan sebuah analogi, tapi memang benar-benar preman. Tapi preman itu berada di semua lini. Mulai preman pasar sampai preman berjas. Tidak luput, media pun juga ikut bermain. Memang ini adalah sebuah rahasia umum, yang dianggap hanya sebagai mitos saja. Karena para preman itu pintar menyembunyikannya di balik kata-kata manis.

Mereka sangat mahir dengan bahasa kromo inggil ala jawa kraton. Kalau merunut ke dalam sejarah pun memang demikian. Lumajang menjadi wilayah terkuat kedua setelah pusat pemerintahan Majapahit. Di sini hidup turunan orang-orang yang cerdas mengatur taktik strtegi. Bahkan tanpa adanya orang Lumajang ini, Majapahit tidak akan mampu mengambil alih pemerintahan di Kediri.

Sifat itu ternyata masih saja terlihat begitu jelas di hadapan masyarakat Lumajang. Yang mereka salah artikan menjadi bentuk keharusan untuk menghormati seorang yang bertitel pejabat.

Saya sendiri sebagai seorang jurnalis yang selalu melihat dengan jelas praktek-praktek itu tak mampu berbuat apa-apa. Karena jurnalis seperti saya tidak bisa hanya menyajikan sebatas dugaan kalau tidak ada bukti dokumen.

Saya juga masih belum bisa menyebutkan secara gamblang bagaimana sebuah praktek transaksi antara seorang jurnalis dengan unsur pemerintahan. Semuanya masih abu-abu. Satu sisi jurnalis sudah menjadi sebuah streotip, di sisi yang lain, jurnalis masih bisa menjadi kunci untuk bekerjasama membangun daerah.

Memang semuanya sudah terlanjur. Satu orang saja yang ditemukan bersalah, maka bisa dipastikan semua jajaran pemerintahan juga akan terkait. Karena sistem foedal itu bukan hanya berada pada seorang tuan tanah saja. Tapi menyebar menjadi satu sistem yang terkait satu sama lain.

Gampangnya kita lihat bagaimana sebuah tambang pasir besi bisa lolos untuk eksploitasi. Siapa yang memberikan ijin? Siapa yang mengeluarkan Amdal? Siapa yang memberikan rekom, padahal pihak provinsi juga harus dilibatkan? Dewan juga menjadi satu pihak yang harus menyetujui, apakah hal itu ada tanda tangan notaris yang juga akan melibatkan unsur peradilan.

Jika saja hal semacam itu digadang-gadang bisa memberikan pemasukan untuk kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang mana? Toh uangnya dibagi-bagi dalam jaring-jaring yang super komplit itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline