Selasa Wage bulan Maret kemaren terasa special, gimana nggak spesial wong itu edisi perdana. Harapannya cuman satu yaitu bisa jumpalitan di jalan malioboro. Sengaja memilih ojek online menuju ke Titik Nol Kilometer, tepatnya di depan Museum Sonobudoyo, di situlah meeting point saya bersama teman-teman Kompasianer Jogja.
Belum sampai Nol Kilometer, sudah ada kemacetan panjang dari perempatan Gondomanan hingga jembatan Sayidan, akhirnya belok kiri dan perjalanan berakhir di Alun-alun Utara. Dari tempat drop off menuju ke meeting poin, cukup 3 menit berjalan kaki. Mudah sekali mencari kawan-kawan Kompasianer, tinggal cari patung pria berpakaian ala prajurit Kraton berwarna merah. Benar saja saja sudah melihat ada beberapa yang sudah sampai, wah mbak Yulia Sujarwo mentor kita hari itu sudah standy by.
Tumben sekali Selasa Wage sudah penuh sesak orang di nol kilometer Ada beberapa polisi juga yang menjaga. Usut punya usut ternyata orang-orang ini berdiri mengelilingi panggung di depan Monumen Serangan Umum 1 Maret.
Sambil menunggu teman-teman Kompasianer datang, mbak Yatmi salah satu anggota Kompasianer sekaligus pengusaha catering berbaik hati membuatkan kami makan siang.
Jadilah kami piknik ala-ala di depan caf Sonobudoyo sambil ditemani konser musik dari panggung Nol Kilometer. Di tengah-tengah menyantap ayam bacem dan perkedel, kami dikejutkan oleh suara gemuruh dari langit. 6 pesawat dari sebelah utara muncul, dengan ketinggian yang lumayan dekat menuju ke selatan.
Oh baiklah sedikit lega, ternyata bagian dari atraksi. Coba saja kalau pesawat ini melintas di sekitar tahun 1949, mungkin Nimas kecil (putri dari Mbak Niken salah seorang anggota KJog) tidak akan berteriak-teriak, "Dah dah...dah dah pesawat" melambaikan tangannya saat keenam pesawat tadi muncul kembali dari arah selatan ke utara.
Sekitar tahun 1949, kerumunan orang-orang pasti tidak sedang menonton konser musik, dan ketika melihat penampakan 6 pesawat yang terbang sedikit rendah tidak akan membuat orang mendongakan kepala tetapi pasti akan membuat langkah kaki bergegas untuk bersembunyi. Barangkali ya...
Jadi berandai-andai tentang nol kilometer tempo doeloe, nah mumpung ada mbak Yulia Sujarwo yang berprofesi sebagai guide, setelah selesai menikmati nasi box kami akan menyusuri nol kilometer dan mendengarkan dongeng sejarahnya.
Kami mulai sedikit gelisah saat mendengar kabar ada 3 teman kompasianer yang terjebak di sisi utara nol kilometer. Mereka kesusahan menerobos kerumunan padahal hari sudah semakin sore. Tapi apalah daya, sebagai manusia kita memang hanya punya rencana.
Selasa wage yang diagendakan untuk dolan heritage, dari nol kilometer sampai Malioboro sedikit ada perubahan. Situasi saat itu tidak memungkinkan sehingga mbak Yulia mengalihkan perjalanan ke arah alun-alun utara. Teman-teman yang masih terjebak di sisi utara bisa menyusul nantinya.
Sampai di alun-alun kami pun mencari titik kumpul agar bisa mendengarkan cerita mb Yulia tanpa suara yang mengganggu. Titik nol kilometer sejak dulu sudah menjadi pusat kota di Jogjakarta lagi, dari foto yang bersumber dari KLIV Leiden, memang benar ada banyak orang yang berlalu lalang di titik ini.