Keteladanan Buya Hamka Dalam Menghadapi Ujian Kehidupan
Oleh: Dian Muhamad Fadillah, S.Sos., M.Ag
Bagi seorang pembaca dan penggiat menulis tidak asing bagi kita mendengar nama Buya Hamka, seorang ulama, seorang penulis, seorang akademisi, pejuang, seorang Ayah, seorang motivator. Perjuangan beliau dalam memperjuangkan kemerdekaan, meski dihina, difitnah sebagai antek antek jepang, dituduh penjilat bahkan sampai di penjara pada tahun 27 Januari 1964, Seorang ulama yang memperjuangkan prinsip-prinsip Akidah Islam, terlihat bagaimana beliau tak gentar menerima tuduhan untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno hanya kerena berbeda pandangan, atau bagaimana beliau tetap kekeuh dalam menerapkan prinsip aqidah tentang pandangannya hukum mengucapkan selamat natal kepada kaum kristiani. Dan masih banyak lagi pengalaman-pengalaman Buya Hamka yang menjadi contoh kehidupan, bahkan jejaknya diabadikan dalam bentuk Film.
Dalam kisah Buya Hamka ini, salah satu torehan sejarah yang sangat berharga adalah bagaimana resiliensi beliau terhadap tuduhan hingga harus tinggal dua tahun dibalik jeruji besi. Hingga bagaimana bisa dibalik hiruk pikuk penjara dapat menghasilkan karya tulis yang sangat berharga hingga sekarang.
Nama asli Buya Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih khas dikenal dengan sebutan Buya Hamka. Beliau adalah seorang ulana yang berasal dari Negeri Maninjau. Beliau lahir pada tanggal 17 Februari 1908 M. Dan wafat pada tanggal 24 Juli 1981 M, beliau adalah putra pertama dari pasangan Dr. Abdul Karim Amrullah dan Shafiah. Ayahnya Abdul Karim adalah seorang ulama yang terkenal di Pulau Sumatera, Ayahnya biasa dikenal dengan sebutan Haji Rasul, seorang tokoh terkemuka penggerak roda organisasi gerakan yang dimulai pada tahun 1906. Gerakan tersebut adalah gerakan penentangan dari paham Rabithah yaitu sebuah gerakan yang menghadirkan guru dalam ingatan, sebagai salah satu sistem/metode yang ditempuh oleh pengikut-pengikut tarekat apabila akan memulai suluk. Buya Hamka adalah seorang anak yang selalu taat kepada Ayahnya meskipun di masa kecil Buya Hamka termasuk anak yang terbilang nakal, terlihat bagaimana beliau sulit sekali untuk diajak serius belajar, beliau adalah tipe anak yang cepat bosan, beliau hanya menyukai materi pelajaran yang mengandung sastra, syair, dan ternyata memang apa yang beliau sukai di masa anak atau remaja adalah yang menjadi passion beliau kelak di masa depan. Buya Hamka juga salah satu anak yang sangat mengidolakan Ayahnya, terlihat bagaimana sering kali beliau menceritakan kisah Ayahnya di Kitab Tafsir Al-Azhar, dan Beliau juga menulis buku khusus tentang Ayahnya yaitu buku yang berjudul Ayah.
Dalam hal perjalanan perjuangan, Buya Hamka menemui ujian yang sangat beragam, dari mulai zaman penjajahan Belanda, Jepang sampai bagaimana perjuangan beliau menangkis, menghadapi tuduhan fitnah keji dari pemerintahan orde lama. Ujian yang menurut sebagian orang sangat berat, karena tuduhan ini beliau menghadapi kekerasan verbal bahkan hampir kena siksaan setruman dari petugas polisi saat itu.
Semua bermula saat beliau menjalani hari-harinya di Jakarta. Betapa mirisnya perjalanan dakwah Buya Hamka sepulangnya dari pengajian Majelis Ibu-Ibu yang beliau rintis, beliau didatangi oleh 3 orang polisi yang berpakaian preman, dengan menunjukkan surat penangkapan sementara dibawalah Buya Hamka ke suatu tempat yang keluarganya pun tidak mengetahui dimana beliau ditempatkan, bisa Anda bayangkan bagaimana bertubi-tubi cobaan yang beliau hadapi, dari mulai ditutupnya, dibatasi gerak gerik beliau dalam dunia jurnalistik, kemudian diawasi saat bergerak di pengajian dakwah ibu ibu, kemudian ditankap secara misterius tanpa kabar yang jelas dimana beliau ditempatkan. Dan lebih mirisnya lagi umur Buya Hamka yang pada saat itu bukan tergolong muda, tapi sudah kepala lima tepatnya berumur 56 tahun. Umur yang tergolong tua, tubuh sudah tidak bisa berbuat banyak, namun awal-awal penahanan beliau pun tidak tahu dimanakah lokasi penjara, baru setelah sekian lamar beliau baru mengetahui bahwa beliau ditempatkan di Bogor yaitu di Cimacan Bogor.
Kemudian apa sebenarnya kesalahan Buya pada saat itu? Sehingga harus ditangkap? Pertanyaan ini pun tidak diketahui oleh Buya Hamka, baru setelah beberapa hari setelah dipindahkan penahanannya dari Depok ke Bogor, terbukalah tuduhan tuduhan yang harus ia akui sebagai kesalahannya, beberapa kali pertanyaan yang dicecar oleh tim penyidik memaksanya mengakui perbuatan yang sama sekali belum pernah ia perbuat. Dan pemeriksaan sungguh sangat menguras tenaga dan waktu beliau, Beliau harus menghadapi siksaan verbal selama 15 hari 15 malam, berikut perkataan beliau:
Diadakan pemeriksaan yang tiada henti-henti. Siang dan malam, petang pagi. Istirahat hanyak ketika makan dan shalat saja. 1001 pertanyaan, yah 1001 yang ditanyakan. Yang tidak ada henti-henti selama 15 hari 15 malam”.
Bisa Anda bayangkan bagaimana keadaan beliau selama itu diperiksa selama 15, 15 malam. Tanpa keluarga hanya seorang diri menghadapi tekanan, tekanan yang terberat menurut beliau adalah dibentak dengan kalimat kasar dianggap sebagai penghianat. Kalimat yang membuat seluruh badan beliau gemetar, kalimat yang meruntuhkan harga diri, kalimat yang membuat tangisan di hati, kalimat yang mengguncangkan idealisme, kalimat itu adalah “Saudara Pengkhianat”. Buya Hamka di tuduh merencanakan pembunuhan dan penggulingan kepada perdana Menteri dan Presiden Soekarno, serta berkerja sama dengan Negara Malaysia atas penggulingan tersebut. Beliau dicecar dengan berbagai paksaan pertanyaan yang beliau sendiri tidak pernah melakukannya, beliau dipaksa untuk mengakui tuduhan tersebut. Hingga pada suatu titik ketidaksanggupan dan keputusasaan beliau meminta kepada si polisi yang menginterogasinya untuk mempersiapkan saja kertas pengakuan, dan beliau siap mentanda tangani.
Keterpaksaan beliau mengakui kesalahan yang bukan kesalahannya, disebabkan oleh siksaan verbal yang menghujam hati, menjatuhkan martabat beliau sebagai ulama, menjatuhkan harkat martabat beliau sebagai Datuak ninik mamak. Adalah hanya sebatas melepas siksaan tersebut. Tidak pernah sedikitpun di masa kecil Buya Hamka dihina seperti itu, bahkan orangtuanya pun tidak pernah melakukan hal keji tersebut. Namun, pada akhirnya benar firman Allah SWT didalam Al-Qur’an surat Alam Nasrah ayat 6 :