Lihat ke Halaman Asli

Kedai Buntung

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang itu matarahi kian menyengat. Seperti biasa, ku lihat seorang lelaki tua duduk termenung di bawah pohon perdu. Terlihat dari kejauhan, dua orang wanita dengan langkah malu-malu. Melongok dan mengintip di balik tirai. Lelaki tua terbangun dan menghampiri, menanyakan apa yang dipesan.
"Perkedel dua, sama telur cabe..., eh ga jadi pak, pake udang saja" lelaki itu menyendok nasi yang telah dituangnya di atas kertas cokelat lalu memindahkannya ke atas piring. Segini cukup? Ujarnya lagi. Temannya seraya berkata, pak Saya juga pesan. Terdengar ia mengulangi perkataan kedua kalinya.

Ku lihat, wanita dengan rambut sebahu menyantap hidangan dengan ragu. Dan menelan tiap bulir nasi sambil memikiran sesuatu. Sementara temannya itu dengan lahap menyantap sepotong ayam, lengkap dengan sambal hijau dan daun singkong.
Tak lama, lelaki itu ambil situasi, mungkin mendengar percakapan kedua wanita itu tentang pekerjaan. Sambil makan, sang lelaki mengambil perbincangan seputar kehidupan asal. Tak disangka, lelaki tua itu dulu pernah berada di lingkungan wanita berambut sebahu, dan juga di wilayah wanita berambut cepak. Kebetulan kah?
Tanpa basa basi, ia memuji pekerjaan kami, dan tampaknya iri dengan status mereka yang sebagai karyawan. Si rambut sebahu terlihat mengunyah udang dan sibuk memberi makan kucing di kolong meja.
Sedangkan si rambut cepak menepis kekaguman lelaki itu dengan berdalih menjadi pedangan sangat mengasyikan. Si lelaki tak tinggal menyetujui, ia bilang berdagang banyak risiko, sering rugi, dan sepi. Ia sempat ingin berdagang di kantin kami, akan tetapi ditolak karena sudah terisi.

Aku menyaksikan percakapan ketiganya dengan seksama. Sesekali terlihat wanita berambut sebahu meneguk segelas air. Dan menelan perkedel tanpa dosa. Akupun mengetahui apa yang ada dipikirannya. Ya, semua pikiran para pengunjung yang berada di sudut ini.
Entah apa yang membuat mereka menghabiskan sajian ini. Dan lagi-lagi aku hanya bisa melihatnya di atas kotak tisu.
Ah sudahlah, untuk apa aku berusaha menerka pikiran mereka, lidah mereka, bahkan telinga mereka.

Lelaki tua masih dalam bicara kehampaan. Aku bahkan takut sekaligus kasihan dengannya. Sejak ia meletakkan aku di sini, di tempat yang berbeda, ia tampak aneh.

Selesai sudah kedua wanita itu makan, dan lekas berlalu sambil berterima kasih.

Aaaaah, aku ingin meneriakkan apa yang ada dibenak wanita itu tadi. Menjawab teka-teki yang selama ini ia cari.
Lelaki itu mencari tempat duduknya kembali. Bersama dedaunan dengan tatapan yang kosong.
Tik tik tik dan akupun dengan setia tiap detik menemaninya.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline