Lihat ke Halaman Asli

Dian YuniAnggraeni

Dosen di Département Akuntansi FEB Universitas Andalas

Bank Syariah dan Pengungkapan Risiko Operasionalnya

Diperbarui: 29 Oktober 2024   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Industri perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang paling berpengaruh dalam perekonomian suatu negara. Hal ini dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat tidak lepas dari layanan dan jasa yang ditawarkan oleh lembaga keuangan perbankan (Yusuf, 2015). Sebagai lembaga intermediasi yang dapat menopang perekonomian dan berperan menjadi penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dengan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan (www.ojk.go.id).

Sejak tahun 1992, perkembangan yang cukup pesat terjadi pada perbankan syariah. Pada 1 November 1992, Bank Muamalat Indonesia (BMI) berdiri sebagai bank syariah pertama yang menggunakan sistem bagi hasil. Bank syariah menggunakan prinsip pembagian keuntungan (profit) dan kerugian (loss) berdasarkan Al-Quran dan Hadists (Supriyadi, 2017). Sistem perbankan syariah menggunakan sistem bagi hasil dalam proses operasinya merupakan salah satu karakteristik perbankan syariah yang memberi keuntungan bagi masyarakat dan bank, serta menekankan perlakukan yang adil, investasi yang etis, dan mengutamakan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam produksi dan menghindari spekulasi dalam transaksi keuangan (www.ojk.go.id).

Seiring pertumbuhan Bank Muamalat di Indonesia menyebabkan munculnya Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) di Indonesia. Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 9/7/PBI/2007, Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatan usahanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan Unit Usaha Syariah adalah unit kerja dan kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

Krisis keuangan global pada tahun 2008, disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan Amerika Serikat dalam menentukan kebijakan kredit yang berdampak kepada seluruh dunia terutama pada industri perbankan, hal inilah yang menjadi latarbelakang dan mengakibatkan lambatnya pertumbuhan ekonomi dunia dan meningkatnya permintaan akan pengungkapan, sehingga diterbitkanlah peraturan yang dikelurkan oleh International Financial Reporting Standard (IFRS), mengenai instrumen keuangan.

Pengungkapan risiko pada perusahaan perbankan sebagai cara yang efektif untuk menghindari krisis pada perbankan (Barakat & Hussainey, 2013). Pengungkapan risiko yang baik dilakukan perusahaan dapat mempermudah tugas pengawas bank dalam mendeteksi dan menindaklanjuti potensi masalah yang dapat terjadi (Linsley & Shrives, 2005).

Industri perbankan telah mengalami perkembangan yang pesat dari tahun ke tahun, namun hal ini menyebabkan peningkatan kompleksitas bisnis dan potensi risk-reward. Ini berarti bank harus memiliki manajemen risiko agar dapat mengidentifikasi potensi masalah yang akan timbul di masa depan yang dapat merugikan bank (Siswanti et al., 2020). Maka tidak heran jika para pemangku kepentingan seperti investor, regulator, dan analis keuangan meminta bank untuk dapat mengungkapkan risiko kepada pihak luar perusahaan. Hal ini disebabkan karena pihak dalam perusahaan mengetahui lebih banyak informasi mengenai risiko berbeda dengan pihak luar perusahaan yang hanya mengetahui sedikit. Ketidakseimbangan informasi ini menyebabkan manajemen diminta untuk mengungkapkan risiko dalam laporan tahunan perusahaan.

Pengungkapan risiko perbankan di Indonesia mulai dikenal sejak tahun 1998 oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS). BCBS merupakan bagian dari Bank for International Settlements (BIS), dan memiliki kewenangan untuk menetapkan standar regulasi perbankan yang bekerjasama dengan pengawas bank. BCBS menetapkan standar Basel I dengan latar belakang krisis utang di Amerika Latin pada awal 1980-an. Krisis ini mengakibatkan bank harus memiliki lebih banyak modal untuk melindungi diri dari potensi risiko.

Pengungkapan informasi keuangan dan risiko adalah suatu prosedur penting dalam mengoptimalkan efisiensi pasar melalui tiga cara. Pertama, berfungsi sebagai prosedur untuk mengawasi perilaku manajemen senior. Kedua, mengurangi ketidakpastian investor tentang masa depan perusahaan. Ini membantu menjaga kepercayaan investor terhadap kemampuan perusahaan untuk menghasilkan arus kas di masa depan. Ketiga, mendukung keabsahan dan reputasi perusahaan sehingga menjaga kepercayaan dari berbagai pemangku kepentingan (Barakat & Hussainey, 2013).

Pengungkapan risiko oparasional di dalam bank umumnya dan bank syariah khususnya masih jarang dilakukan (Barakat & Hussainey, 2013; Nahar et al., 2016). Menurut Elamer et al. (2019), umumnya bank syariah dapat terlibat dalam pengungkapan risiko operasional komprehensif karena sejumlah alasan teoretis. Pertama, teori agensi menunjukkan pengungkapan risiko operasional yang efektif dan transparan dapat mengurangi biaya agensi dan berdampak positif pada kinerja bank syariah (Jensen & Meckling, 1976). Kedua, teori sinyal memprediksi bank syariah mengomunikasikan informasi risiko operasional kepada pihak luar untuk memberi sinyal kepada calon investor tentang praktik dan kinerja manajemen risiko operasional bank yang jelas (Connelly et al., 2011). Ketiga, teori legitimasi memprediksi peningkatan pengungkapan risiko operasional sebagai cara strategis bank syariah dapat melegitimasi operasi mereka dan mendapatkan penerimaan dalam masyarakat yang lebih luas (Connelly et al., 2011). Keempat, teori ketergantungan sumber daya memprediksi peningkatan pengungkapan risiko oprasional dapat membantu memberikan bank syariah akses ke sumber daya penting didalam perusahaan (Elamer et al., 2019).

Lemahnya praktik manajemen dan pengungkapan risiko operasional, serta struktur tata kelola perusahaan setelah krisis keuangan telah menghidupkan kembali perdebatan terkait pentingnya mengelola risiko operasional dalam sektor perbankan di seluruh dunia (Elamer et al., 2019). Kegagalan dalam pelaporan perusahaan dan tata kelola perusahaan disebabkan oleh kurangnya integritas dan adanya tata kelola perusahaan yang buruk. Dengan demikian, perusahaan yang menerapkan prinsip syariah perlu mempraktikan tata kelola perusahaan yang efektif seperti memisahkan tugas antar dewan (Al-Maghzom et al., 2016; Elshandidy et al., 2013).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline