Lihat ke Halaman Asli

Dian Lestari

Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Sunan Ampel Surabaya

Analisis Mengenai Tantangan dan Penyebab Rendahnya Anga Lulusan S2 Dan S3 di Indonesia

Diperbarui: 25 Januari 2024   10:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambaran rendahnya jumlah lulusan magister dan doktoral di Indonesia

Jumlah lulusan Magister dan Doktor di Indonesia sangat memprihatinkan, dimana tercatat hanya 63.858 lulusan Magister (S2) dan 5.612 lulusan Doktor (S3) pada tahun 2019. Rendahnya angka ini sangat memprihatinkan, apalagi jika dibandingkan dengan negara lain yang jumlah lulusannya jauh lebih tinggi. Kesenjangan ini menyoroti perlunya Indonesia meningkatkan jumlah lulusan Magister dan Doktor agar bisa mengikuti perkembangan dan kemajuan global. Pengamat pendidikan sekaligus pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI), Satria Dharma membenarkan, jumlah masyarakat yang menempuh pendidikan tinggi sangat minim. Tren ini mengkhawatirkan karena dapat menghambat kemajuan negara di berbagai bidang.

Rendahnya jumlah lulusan Magister dan Doktor di Indonesia memang memprihatinkan, apalagi jika dibandingkan dengan negara lain. Presiden Joko Widodo terkejut saat mengetahui rasio lulusan Magister dan Doktor di Indonesia terhadap penduduk produktif lebih rendah dibandingkan di Vietnam dan Thailand. Kurangnya lulusan tingkat lanjut di Indonesia dapat menghambat kemajuan negara di berbagai bidang, termasuk penelitian dan pengembangan, inovasi, dan pendidikan tinggi. Rendahnya jumlah lulusan Magister dan Doktor juga dapat berdampak negatif terhadap perekonomian, karena dapat membatasi kemampuan negara bersaing di pasar global.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan rendahnya jumlah lulusan Magister dan Doktor di Indonesia. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya beasiswa dan peluang pendanaan untuk pendidikan lanjutan. Infrastruktur pendidikan tinggi di Indonesia juga terkonsentrasi di Pulau Jawa sehingga menyulitkan mahasiswa dari daerah lain untuk melanjutkan studinya. 

Selain itu, terdapat stigma yang terkait dengan mengejar gelar yang lebih tinggi, dimana banyak orang percaya bahwa hal tersebut tidak diperlukan atau tidak akan menghasilkan peluang kerja yang lebih baik. Upaya peningkatan jumlah lulusan Magister dan Doktor perlu dibarengi dengan peningkatan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan. Penting untuk mengatasi tantangan dan penyebab peningkatan jumlah lulusan tingkat lanjut di Indonesia, yang mana hal ini sangat penting bagi kemajuan dan pembangunan negara.

Tantangan yang dihadapi mahasiswa Indonesia yang mengejar gelar magister dan doktoral

Salah satu tantangan besar yang dihadapi mahasiswa Indonesia yang mengejar gelar Magister dan Doktoral adalah terbatasnya ketersediaan program dan pendanaan[4]. Masalah ini diperburuk oleh kenyataan bahwa banyak siswa tidak menyadari peluang yang tersedia bagi mereka, atau mungkin tidak memiliki sumber daya keuangan untuk mengejar gelar yang lebih tinggi. Pengamat pendidikan Ina Liem mencatat bahwa meskipun pendanaan dapat menjadi perhatian, permasalahan utamanya sering kali berkaitan dengan hambatan mental, seperti kurangnya rasa percaya diri atau motivasi. Tanpa dukungan dan sumber daya yang memadai, banyak siswa mungkin kesulitan mengatasi tantangan ini dan menyelesaikan gelar mereka.

Faktor penting lainnya yang berkontribusi terhadap rendahnya jumlah lulusan Magister dan Doktor di Indonesia adalah kurangnya dukungan dari lembaga pendidikan dan pengusaha. Dalam banyak kasus, peluang kerja di Indonesia tidak memerlukan gelar yang lebih tinggi, sehingga menyulitkan lulusan untuk mendapatkan pekerjaan yang berarti. Akibatnya, insentif bagi siswa untuk mengejar gelar lebih tinggi mungkin berkurang, terutama jika mereka tidak melihat jalur yang jelas menuju peningkatan karier. Tanpa dukungan yang lebih besar baik dari sektor pendidikan maupun bisnis, mungkin sulit untuk meningkatkan jumlah lulusan Magister dan Doktor di Indonesia.

Terakhir, hambatan sosial, ekonomi, dan budaya juga dapat berperan dalam membatasi jumlah lulusan Magister dan Doktor di Indonesia. Misalnya, siswa dari keluarga berpenghasilan rendah mungkin menghadapi kendala finansial yang lebih besar ketika mengejar gelar yang lebih tinggi, sementara sikap budaya terhadap pendidikan mungkin tidak selalu memprioritaskan pendidikan tinggi. 

Selain itu, mungkin ada kurangnya kesadaran atau pemahaman tentang manfaat gelar yang lebih tinggi, yang selanjutnya dapat membatasi minat untuk mengikuti program ini. Untuk mengatasi tantangan ini, penting untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang manfaat gelar lanjutan, serta memberikan dukungan dan sumber daya yang lebih besar kepada siswa yang mengikuti program ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline