ϙϙ“Clara, kali ini kau harus menurut padaku. Jika tidak, aku tidak mau jadi kawanmu lagi.”, kata Johan dengan nada mengancam. Clara hanya melirik sebentar. Masih terus asyik dengan laptopnya.
“Naskahku harus segera selesai. Kau tahu sendiri bukan kalau minggu depan adalah deadlinenya?”, jawab gadis berkacamata itu dengan ketus. Diraihnya cangkir berisi coklat dingin yang berada di samping kanan laptopnya.
“Ayolah! Apa dirimu tidak jemu terus-terusan berada di depan kotak sialan ini? Aku baru sebentar saja sudah bosan.”
“Siapa suruh dirimu menemaniku di sini?! Toh keinginanmu sendiri kan?”, sahut Clara sewot. Lanjutnya, “Kalau tidak betah, kan kamu bisa pergi dari sini dan keluyuran sendiri.”
“Apa asyiknya nongkrong di café sendirian?”, jawab Johan sambil bertopang dagu.
“Bukannya kamu bisa menghubungi yang lain? Kenapa mesti memaksaku?”
“Aku sedang berada di rumahmu, berarti aku sedang ingin bersamamu.”, jawab Johan sekenanya. Jelas dia sedang mendongkol. Clara mendengus dingin.
“Kamu sedang bertengkar dengan adikmu lagi? Masalah apalagi sekarang?”, lirik Clara sambil menyerngitkan dahinya yang putih mulus. Dia mulai tertarik sedikit rupanya. Tapi Johan tetap saja bungkam seolah tidak mendengar.
“Jika kau tidak mau bicara terus terang, aku tidak mau menemanimu keluar.” Clara balik mengancam. Johan terdengar menghela nafas sebelum akhirnya bicara.
“Kami berebut pacar.” Katanya dengan nada mengenaskan. Clara tertawa terpingkal-pingkal demi mendengar penuturan polos itu. Ada-ada saja, pikirnya.
“Responmu itu melukai hatiku tau!”, sahut Johan sambil melotot.