Lihat ke Halaman Asli

Ketika Buku Sudah Tak Menarik Minatku Lagi

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bicara tentang buku, tak banyak orang menyukainya. Biasanya hanya cukup dengan melirik tebal halamannya saja sudah membuat seseorang keburu berpaling dan enggan. Tapi biasanya, orang-orang seperti ini adalah orang-orang malas. Hahaa.. sebentar, bukannya saya menghina. Toh pada kenyataannya, meskipun saya juga gandrung dengan buku bukan berarti semua macam jenis buku, setebal apa pun itu, sudi saya lahap. Tetap saja, tergantung bukunya apa dulu. :D

Sekarang ini, ada begitu banyaaaak buku bertebaran di mana-mana. Jika anda datang ke pameran buku, satu stand saja, di sana sudah berjejal banyak buku. Tapi sayangnya, kuantitas yang banyak ini tak diimbangi dengan kualitas tulisan yang bagus.

Dulu pada masa awal-awal SMA, di mana saya begitu tergila-gila dengan barang yang satu ini, hampir-hampir setiap saya melirik sebuah buku dan terkesan dengan judul dan abstraksinya yang terkesan menggoda (ditambah pula ada label ”best seller”), tangan saya sudah gatal ingin membawanya segera ke kasir. tapi terkadang, saya harus menelan kecewa sendiri karena ternyata isinya jauh dari bagus.

Sebenarnya patut diapresiasi bagi para penerbit menerbitkan banyak buku dari para penulis pemula. Bagaimana pun, saya yang sampai saat ini masih berharap suatu saat nanti bisa jadi penulis, saya mengharapkan ada penerbit yang mau menerbitkan tulisan saya. Tapi, meskipun ada harapan ke arah sana, bukan berarti saya asal-asalan menulis. saya tetap berusaha untuk menampilkan tema menarik dan unik, serta gaya bahasa yang baik. Yaah, sesulit apa pun sebuah tulisan bisa saya selesaikan.. tapi tak jarang saya memutuskan untuk berhenti di tengah jalan: nggak pede atau kehilangan mood.

Makin lama bergaul dengan dunia perbukuan, sedikit banyak saya sudah belajar untuk menyeleksi buku-buku yang ”layak” untuk saya baca. Karena kualitas bacaan juga akan mempengaruhi mood, pengetahuan, dan gaya bahasa, makanya saya kadang sangat berhati-hati ketika memilih. Percayalah, tidak semua penulis memiliki gaya bahasa yang baik dan benar. Kemampuan berbahasa sangat dipengaruhi oleh bacaan apa saja yang sudah dia lahap selama ini. Jika dia cenderung menikmati sastra, maka akan kita dapati gaya bahasanya begitu halus, indah, dan mengena. Begitu juga seseorang yang lebih demen membaca buku terjemahan, maka gaya bahasanya juga akan terpengaruh dengan gaya tulisan terjemahan.

Banyak orang mengeluhkan ingin bisa menulis dengan baik. Namun sayangnya, keinginan ini tidak diimbangi dengan kualitas membaca yang baik pula. Buku adalah sumber kata dan dengan banyak membaca tulisan, in syaa Allah, kita akan memperkaya pembendaharaan kata yang kita jadikan amunisi utama dalam menulis. beberapa tahun yang lalu, saya masih ingat, di sebuah Book Fair diadakan sebuah work shop kepenulisan. Si penulis menjawab pertanyaan dari seorang penanya, bagaimana cara menjadi penulis yang produktif(?). sang pemateri menjelaskan kalau jika ingin menulis, maka kita harus mau membaca. Membaca apa? Apa harus buku? Tidak. seorang penulis dituntut untuk mau membaca apa saja. Tak terbatas pada buku. Lingkungan sekitar atau kehidupan manusia adalah buku terbuka. Tinggal kita mau membacanya atau tidak. jadi, menjadi penulis juga butuh kepekaan.

Pada masa sekarang, di mana informasi begitu mudah diakses oleh siapa saja, dunia buku pun sama seperti itu juga. Buku-buku berkualitas bersanding mesra dengan buku-buku berkualitas jongkok pun bisa ditemui di mana-mana (toko buku maksud saya). Trik promosi yang digembor-gemborkan oleh pihak penerbit yang tak jarang melakukan tipu muslihat dalam mempromosikan buku-buku mereka pun sering ditemui. Di cover depan ditulis ”best seller”-lah, si penulis lulusan sini-lah. Bahkan tak jarang, antara abstraksi dengan isi buku tidak nyambung! Saya sempat beberapa kali apes membeli buku yang saya kira bagus ternyata.. jongkok!

Well, saya tak hendak mencela tulisan orang lain. Saya paham benar, menulis bukan perkara gampang seperti kita ngomong. Butuh kepedean tingkat tinggi untuk mau menulis dan mempublishnya ke publik. Tapi yang patut disayangkan adalah para penerbit yang kurang selektif dalam memilih tulisan yang hendak diterbitkan. Menjadi seorang penulis yang baik butuh waktu lama alias tidak instan. Butuh proses yang panjang karena dia butuh baca banyak hal untuk memperkaya kosakata, gaya kepenulisan, dan ide. Terlebih, buku itu mau tidak mau memang akan mempengaruhi pola pikir pembacanya. Maka menjadi tanggungjawab utama bagi penulis (dan penerbit) untuk menyajikan tulisan yang isinya bisa dipertanggungjawabkan. Jika salah menyampaikan, ada kemungkinan pembaca juga akan mengalaminya. Lha wong tulisan yang baik saja jika sudah dibaca oleh banyak orang, tidak semuanya akan “ngeh” dengan maksud si penulis. Kenapa? Karena daya tangkap masing-masing orang berbeda.

Maka dari itu, menjadi tanggungjawab bersamalah bagi para penulis (dan penerbit) untuk menyajikan tulisan yang berbobot, baik dari segi materi maupun gaya bahasa. Jangan sampai hanya gara-gara salah ambil buku, seseorang jadi ogah membaca buku lagi. Ditanya “kenapa?”, dijawab, “Kapok gue baca buku. Jelek gitu ditulis best seller. Ckckck..”. dan bagi para pembaca, lebih selektiflah dalam memilih tulisan. Tidak semua tulisan layak dikonsumsi tapi bukan berarti tidak bisa dijadikan pembelajaran. Keburukan pun tetap bisa dijadikan bahan belajar jika kita mau arif menyikapinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline