Terjun ke lapangan bagi seorang penyuluh banyak memberi keuntungan, minimal berupa wawasan. Banyak hal terkait pertanian sering dijadikan semacam renungan hidup yang kaya akan nutrisi. Saat ini banyak lahan sudah termanfaatkan, walaupun memang banyak juga yang belum tergarap, pernah digarap tapi terbengkalai, atau justru beralih fungsi.
Dorongan untuk mengoptimalkan lahan gencar disuarakan, bahkan lahan-lahan pekarangan di dorong untuk dimanfaatkan mencukupi kebutuhan gizi dan penambahan ekonomi.
Minimal untuk gizi rumah tangga melalui budidaya tanaman sayuran, buah-buahan, tanaman bio farmaka, ternak unggas, kelinci, serta budidaya ikan sebagai penyedia protein hewani. Bahkan ada juga yang menghiasi pekarangan dengan florikultura sehingga terlihat indah dan kerennya bisa mengundang rupiah.
Melewati banyak lahan yang ditumbuhi gulma, sering terbersit pikiran, kenapa tidak dimanfaatkan ya, setelah selesai tanam padi, kan bisa tanam palawija, atau bahkan hortikultura. Apalagi di banyak sawah sekarang kondisinya masih berair dan hujan masih beberapa kali mengguyur, mestinya bisa tanam padi lagi. Beberapa waktu lalu seorang petani mengabari, lahan jagungnya terendam, karena hujan deras dan volume air tinggi, padahal baru umur lebih seminggu, baru selesai dipupuk, dan terlihat sedang subur-suburnya.
Di waktu yang berbeda, petani lain mengabari, lahan sawah yang ditanami kacang hijau terendam. Ada juga petani mengeluhkan serangan hama tikus pada lahan padi IP 200 nya.
Ada pula petani yang curhat karna harga cabe, kacang panjang, dan timun belum sesuai harapan. Belum lagi keluhan tentang hama dan penyakit yang belum mampu teratasi. Akhirnya sebersit pikiran di atas hanya mampu bertengger sejenak di dahan harapan, lalu kemudian jatuh dihamparan problem usahatani tak berkesudahan dan berkelindan.
Padahal katanya alsintan ada, pendanaan disediakan baik melalui LKMA maupun perbankan, pasar juga sangat terbuka, teknis budidaya mudah diakses baik online maupun via kelembagaan terkait, namun pengaruh budaya musim diam masih begitu kuat, ego dan individualistis sering menular dan menyasar sosok-sosok rapuh, atau ada sikap mental kebelum beranian menghadapi tantangan dan mengambil resiko, atau malahan problemnya adalah tidak adanya trust untuk mendukung dan mensukseskan, kecuali bila formatnya berbentuk program dan dengan paket full atau non full bantuan. Sekali lagi bisa jadi dan ini bukan judge..
Para pakar dan cendekia sering berkoar, lakukan penyuluhan dengan pendekatan kelembagaan, kalau pendekatan individual penyuluh akan kewalahan dan hasilnya tak banyak.
Sekian lama gerak kelembagaan dididihkan dalam derajat panas tertentu dengan bahan bakar berupa program dan bantuan, di beberapa tempat pola ini berhasil dan outputnya kemandirian, tapi di tak sedikit tempat pola ini justru menimbulkan ketergantungan. Di rumah yang beragam penyuluh diperankan sebatas pensukses program atau malah sebatas petugas administrasi. Ah masa, bisa jadi tak seperti itu.
Alkisah seorang istri memiliki suami yang hanya tamatan SMA, sang suami begitu girang karna dengan ijazahnya bisa diterima sebagai tenaga honor di satu sekolah karna tak cekatan dan lambat belajar, si suami dikeluarkan.
Pulang ke rumah, lirih dia menceritakan pada sang istri keadaan itu. Bukan sedih si istri optimis dan memberi support pada sang suami, mungkin belum rezqy kita disitu, cobalah cari pekerjaan lain siapa tau akan lebih baik. Sang suami akhirnya diterima kerja ikut orang jadi pesuruh, karna kinerjanya lambat dan tk bisa ditarget, akhirnya si Bos memecat sang suami.