Secara sederhana modernisasi pertanian dapat diartikan sebagai penggunaan teknologi modern dalam melakukan kegiatan pertanian. Teknologi tersebut berkaitan dengan teknologi budidaya dan non budidaya. Teknologi budidaya meliputi penggunaan alsintan untuk memudahkan, mempercepat, dan menghemat kegiatan budidaya, seperti penggunaan hand traktor untuk pengolahan lahan, penggunaan rice transplanter untuk melakukan penanaman, pompa air untuk mengairi atau mengurangi air di sawah, combine harvester untuk memanen, dll. Sedangkan teknologi modern non budidaya misalnya penggunaan smartphone untuk mendapatkan informasi tentang iklim, harga, pasar, saprodi, permodalan, hingga pengendalian OPT, dsb.
Ragam alat dan mesin pertanian (alsintan) canggih untuk berbudidaya khususnya budidaya padi sangat mudah ditemukan di berbagai desa. Keberadaan alsintan tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, menghemat waktu budidaya, menambah luasan tanam, panen, produksi, dan produktivitas, di sini lain penggunaan internet untuk mendapatkan informasi terkait teknologi budidaya, permodalan, pasar, harga, iklim juga mendukung untuk melakukan pertanian modern, walaupun memang di beberapa tempat tertentu akses internet terbatas karena faktor geografis dan lainnya.
Dilansir dari pertanian.go.id (21/7/18) kementrian pertanian mencanangkan program pengembangan pertanian modern untuk sejahterakan dan muliakan petani. Hal itu diwujudkan dengan pemberian alsintan berbagai jenis hingga ribuan unit dengan biaya triliunan rupiah. Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian I Ketut Kariyasa menyampaikan penggunaan hand traktor roda dua dapat menghemat tenaga kerja dari 20 orang menjadi 3 orang, menurunkan biaya pengolahan lahan hingga 28 %. Penggunaan alsintan sejak pengolahan lahan hingga panen dapat menghemat biaya hingga 6,5 % dan meningkatkan produksi sebesar 33,8 %, hal itu beralasan karena kehilangan hasil dapat dicegah sebesar 10,9 % dan produksi bisa meningkat karena penerapan sistem tanam legowo menggunakan rice transplanter bisa meningkatkan produktivitas 11,9 %.
Penggunaan alsintan semata dapat meningkatkan produksi, namun harus dipadukan dengan penerapan teknologi sistem pengelolaan tanaman terpadu dalam budidaya. Secara kebijakan, konsep, dan daya dukung lainnya seperti benih subsidi, pupuk subsidi, asuransi pertanian, serap gabah, dan program infrastruktur pertanian mestinya mampu mendorong kegiatan budidaya terjadi secara massif dan besar-besaran.
Namun demikian, kendala dan tantangan di lapangan, salah satunya adalah kesiapan kelembagaan petani sebagai wadah petani untuk bekerjasama, kelas belajar dan meningkatkan produksi merespon ragam peluang tersebut sebagai subjek bukan sebagai objek. Tak sedikit kelembagaan petani yang belum mampu merespon peluang dan dukungan alsintan untuk kegiatan budidaya disebabkan faktor internal dan eksternal.
Secara internal kemampuan manajemen organisasi, meliputi leadership dan administrasi masih menjadi tugas rumah yang belum dapat diprediksi kapan selesainya. Alasan bergabungnya petani dalam kelembagaan petani salah satunya masih disebabkan keinginan untuk mendapatkan bantuan pemerintah, bukan sebagai wadah untuk memperoleh kesejahteraan melalui peningkatan kapasitas diri dan lembaga dalam menjalankan usaha budidaya.
Tak sedikit dari mereka yang akhirnya berhimpun berdasarkan domisili, sedangkan petak sawah yang dimiliki terpisah-pisah dan berbeda agroekosistem. Hal ini akhirnya menjadi tantangan dalam mendesain usaha tani kolektif dengan teknologi homogen yang mudah untuk dievaluasi dan ditreatmen. Biasanya kondisi kelembagaan demikian menyebabkan kesulitan dalam melakukan gerakan serentak, sistematis dan berbasis lapangan.
Faktor lain yang menjadi tantangan adalah faktor usia dan tingkat pendidikan. Kepengurusan kelembagaan petani yang didominasi oleh mereka yang berusia di atas 50 tahun dengan tingkat pendidikan yang masih rendah walaupun pengalaman berusahatani sudah puluhan tahun, turut berperan dalam lambat dan sulitnya proses adopsi terjadi.
Sebenarnya usia dan tingkat pendidikan ini tidak berpengaruh signifikan andai sikap keterbukaan terhadap hal-hal baru (kosmopolit) dan kesediaan untuk berubah terjadi. Tak bisa dipungkiri memang kepengurusan kelembagaan petani masih ada, diisi oleh sosok-sosok yang sekedar tertera nama namun perannya tidak signifikan.
Selain umur faktor kepemilikan lahan yang sempit dan status sebagai buruh tani yang tidak memiliki lahan sering menjadi dilematis dalam kelembagaan petani. Benar bahwa buruh tani adalah pelaku langsung kegiatan budidaya, hanya saja kadang kala perannya tergantung pemilik lahan yang mendukung permodalan, sehingga perannya dikelembagaan petani terbatas hanya untuk mendapatkan akses saprodi subsidi atau bantuan pemerintah. Kondisi ini menjadi kontraproduktif dengan keberadaan alsintan yang mensyaratkan optimalisasi dan pemanfaatan untuk mendukung kegiatan budidaya.
Selain faktor internal, tantangan yang dihadapi kelembagaan petani adalah faktor eksternal meliputi relasi lembaga, kebijakan, pasar, harga. Memang kelembagaan petani sebagai lembaga milik desa tak bisa berjalan sendiri. Transfer informasi dan teknologi modern untuk mendukung budidaya mensyaratkan peran pendampingan dan pengawalan berusaha tani, peran tersebut merupakan tugas utama Penyuluh Pertanian sebagai mitra sejajar petani. Penyuluh pertanian sendiri terdiri dari penyuluh pemerintah, penyuluh swadaya (dari desa), dan penyuluh pertanian dari swasta.