Lihat ke Halaman Asli

Cek Dan Ricek Budaya Orang Berilmu

Diperbarui: 2 April 2024   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis Bersama Host dan Narasumber/dok. pri

Mengapa kita menunggu bencana? Baru dikumpulkan dalam satu tenda, mengapa kita baru saling kenal padahal jarak dan ruang antara kita terjangkau, mengapa kita mencoba abai melumpuhkan akal sehat, mengabaikan empati. bukankah pakaian yang kita gunakan? karya orang lain, bukankah lauk pauk yang kita makan ciri payah orang lain?

Mengapa kita tidak merindukan kehadiran kita di tengah-tengah kerumunan, Bukankah kita makluk sosial? Dimana keranda tidak bisa berjalan sendiri.Duhai hati yang merindukan hal baik Semoga lekas mawujud upaya-upaya baik, fokus pada tindakan preventif bahwa ada nenek moyang kita mengenal istilah mencegah lebih baik daripada mengobati

Bahwa dalam menyampaikan kebermanfaatan "menghindari hal buruk terjadi lebih diutamakan daripada mengajak kepada kebaikan sebagaimana analogi dari Prof Quraish Shihab "lebih baik mandi tidak ada sabun, daripada tidak mandi kemudian menggunakan parfum

Dakwah itu hadiah, isinya harus dikemas dengan indah, dikasih pita ditulis kata-kata doa yang paling puitis diberikannya penuh dengan kasih sayang tidak sampai dilempar dalam arti ditimpuk karena merasa kadonya menumpuk

Kendati demikian sejauh apapun tingkah kita tetap saja yang tidak suka pasti ada, namun tetaplah bulat tekad yang semakin indah di hadapan Tuhan walau hina di mata manusia. di mata pembenci yang mereka tunggu kesalahan pribadi, di mata pencinta tepuk tangan saja tidak lebih dari cukup namun tidak jarang diiringi dengan sambil berdiri (standing applause) padahal segunung apapun diammu merenung segala sesuatu di ukur dari niat tentang ada yang menerima dan menolak biar sejarah yang menjawab

sebab waktu yang bijak bestari telah mengajarkan kita untuk memberi ruang maupun kesempatan untuk cek dan ricek (Tabayyun) sebelum berkomentar miring alangkah indahnya mencari kebenarannya terlebih dahulu bahkan di era banjir informasi seperti air bah yang tumpah ruah ke daratan terendah kita harus punya pegangan agar tidak mudah tenggelam dalam ujaran kebencian. salah paham mudah menghakimi yang lain,terkadang terjadi karena korban dari teman duduk kita sendiri yang mudah dengki (hasad) kepada sesuatu yang menurutnya tidak suka bahkan tidak kenal asal muasalnya. Adilkah kita mencaci maki sesuatu yang tidak pernah kita kenal. tanpa tedheng aling-aling memproklamirkan bahwa bahwa orang lain harus mengikuti cara kita tidak menyukai sesuatu. bukankah yang harus dipahami terlebih dahulu bahwa orang lain sangat berbeda dengan diri kita sendiri?

Bila terus mendambakan pujian dari makhluk maka sakitnya ampun-ampunan bila ciri payah kita tak dinilai maka izinkanlah penulis mengutip dawuh Ibnu Athailah al iskandaria "Dalam barisan mutiara-mutiara 'Al-Hikam'-nya berpesan 'idfin wujudaka fi al-ardli al-khumul'.
Artinya kuburlah/pendamlah dirimu dalam bumi kekosongan. karena apa yang tidak pernah ditanam ia tidak akan tumbuh dengan sempurna

Landasilah setiap perkataan dan perbuatan kita dengan sebuah niat ketulusan dalam mengabdi dan menghamba kepada Tuhan. Murni tanpa embel-embel apa pun di belakangnya

Dalam pendekatan budayawan seorang dalang dari republik jancukers Sujiwo Tedjo mencoba menilik lebih dalam tokoh perwayangan "Ingat kata Semar berkerja atau menolong orang harus ikhlas bila pada akhirnya tak membuatmu kaya namun setiap butuh (pasti) ada"




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline