Hampir setiap negara dimana pun memiliki persoalan laten gerakan subversif, yang masing-masing memiliki kekhasan latar belakang ideologi, modus dan cara geraknya. Ada yang menjadikan kesadaran (fanatisme?) etnis sebagai basis ideologi seperti separatis Basque di perbatasan Spanyol-Perancis, atau di Kolombia ada FARC yang mendasari gerakannya dengan faham Marxisme. Setiap gerakan subversif selalu mengandalkan, atau paling tidak berusaha membangun jaringan internasional sebagai senjata kedua selain badan gerakan mereka. Ketika mereka berhasil terhubung dalam satu link di luar negeri, maka opinion making dan building issue menjadi salah satu andalan dalam membesarkan gerakan dan meraih dukungan secara lebih luas. Gerakan subversif ataupun aksi massa pada dasarnya adalah perang politik. Atas dasar ini, persoalan operasi dalam gerak subversi melampaui batasan-batasan territorial dari perang konvensional. Ini pun terjadi dalam perang gerilya. Perang gerilya muncul dan tumbuh dalam lingkungan politik, dalam sebuah perjuangan konstan untuk mendominasi wilayah mentalitas politik tersebut yang melekat pada setiap manusia, dan yang secara kolektif merupakan "lingkungan gerak" gerilya di mana kemenangan atau kekalahan didefinisikan. Konsep perang gerilya sebagai perang politik berubah menjadi Operasi Psikologis dalam faktor-faktor yang menentukan hasilnya seperti : Target, pikiran orang-orang, seluruh populasi (tentara kita, pasukan musuh, dan penduduk sipil). Operasi Psikologis dalam Gerakan Subversif. Jika merujuk pada manual Psychological Operations in Guerilla Warfare milik CIA, sangat jelas bahwa setiap gerakan subversif, perang gerilya, dan aksi massa (demonstrasi, kerusuhan, dll) sangat memprioritaskan manusia : “Pada dasarnya, manusia harus dianggap sebagai prioritas dalam perang, dan dipandang sebagai target militer perang gerilya. dan titik paling penting dari manusia adalah pikiran, setelah pikiran dapat dicapai atau dipengaruhi, "binatang politik" telah ditaklukkan tanpa harus melepaskan tembakan.” Serangan nir militer yang dilakukan sebuah gerakan subversif seringkali lebih efektif dalam menghadapi kekuatan lawan yang lebih kuat. Selain memiliki organ militer, sebuah gerakan subersif juga cenderung memanfaatkan aksi massa melalui tangan-tangan agitator handal yang bergerak hingga level desa. “Agitator akan menarik jumlah yang sama dari individu yang penasaran mencari petualangan dan hiburan, serta mereka yang tidak puas dengan sistem pemerintahan.” (sumber : Psychological Operations in Guerilla Warfare). Bahkan, Jika memungkinkan, seorang kriminal professional akan disewa untuk menjalankan sebuah tugas spesifik. Selanjutnya, Pekerjaan tertentu akan ditunjuk untuk unsur-unsur lain dalam rangka menciptakan "martir" perjuangan. Menciptakan martir atau tumbal perjuangan ini bisa dilakukan dengan modus-modus seperti memimpin demonstran dalam konfrontasi dengan pihak berwenang, memprovokasi kerusuhan atau penembakan dari aparat yang dapat menyebabkan kematian salah satu atau lebih massa yang akan menjadi martir, situasi tersebut harus dimanfaatkan langsung guna melawan rezim sehingga menciptakan konflik yang lebih besar. Skenario martir ini pun ditegaskan bulat-bulat dalam manual CIA tersebut di atas. Dapat tarik kesimpulan, bahwa setiap gerakan subversif pasti membutuhkan tumbal (martir) dalam setiap usahanya membesarkan dan menguatkan organ perjuangan mereka. Dan inilah yang perlu diwaspadai. Butuh Tumbal Mari kita cermati apakah benar setiap gerakan subversif maupun aksi massa membutuhkan tumbal ? 1. Tragedi Semanggi dan Trisakti Tragedi ini merupakan runtutan rusuh politik yang terjadi selama 1998-1999. Sejumlah mahasiswa yang tengah berdemonstrasi tewas tertembak, efek dari tragedi ini luar biasa : soliditas gerakan reformasi mengkristal, komponen-komponen mahasiswa yang asalnya berjalan masing-masing antara yang pro reformasi total (menolak semua unsur-unsur Orba dan penghapusan Dwi Fungsi ABRI) dengan kelompok mahasiswa pemrakarsa pertemuan Ciganjur yang lebih “moderat”. Kelompok mahasiswa pertama dimotori oleh organ-organ militan seperti LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi), FORKOT (Forum Kota), FAMRED (Front Aksi Mahasiswa untuk Demokrasi), berikut LSM-LSM yang selama Orde Baru dikenal kritis. Kelompok mahasiswa ini cenderung berhaluan kiri dan termasuk di dalamnya ada gabungan organ mahasiswa militan Kristen-Jesuit, seperti PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Kelompok kekiri-kirian inilah yang terlibat bentrok dengan Pam Swakarsa di Semanggi dan menewaskan dua anggota Pam Swakarsa dari Ambon. Kelompok kedua – yang lebih moderat, terdiri dari gabungan badan eksekutif mahasiswa, senat, dan organ-organ mahasiswa muslim seperti HMI dan Kammi. Kelompok ini cenderung lebih akomodatif dan gaya bergeraknya pun tidak terlalu radikal, terbukti dengan dihasilkannya pertemuan Ciganjur yang dihadiri tokoh-tokoh nasional seperti Amien Rais, Gus Dur, Megawati dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Kembali ke persoalan tumbal dalam tragedi Semanggi ini. Pasca tewasnya sejumlah mahasiswa, aparat menjadi tertuduh dalam tragedi tersebut. Diakui atau tidak, hingga saat ini, opini public tetap meyakini bahwa ABRI/TNI lah pelaku penembakan tersebut. Hal itu tegas dibantah oleh Menhankam/Pangab ABRI saat itu, Jenderal TNI Wiranto saat menjawab pertanyaan yang dilontarkan salah seorang anggota DPR pada Raker dengan Komisi I DPR pada Selasa 24 November 1998, bahwa munisi jenis itu bukan standar ABRI (TNI sekarang), dan pihaknya kini sedang melakukan penelitian dan penyidikan tentang anak peluru tajam yang dapat pecah dalam tubuh korban itu. Peluru jenis apa? Peluru dengan perilaku eksotis ini disebut dengan quik-shok yang dipatenkan di Amerika Serikat. Peluru ini dilarang oleh konvensi perang Internasional karena perilakunya yang kejam dan mematikan : peluru terpecah tiga ketika menembus tubuh korban dan masing-masing pecahan menuju arah yang berbeda. Seperti diungkapkan etalase munisi ini di internet, www.triton-ammo.com (sekarang laman tersebut tidak ada), dalam tembakan jarak dekat, anak peluru quik-shok melakukan penetrasi tidak lebih dari 33,02 cm – 38,1 cm. bagaimana bisa begitu ? ini sehubungan dengan tabiat anak peluru quik-shok itu yang meluas bagian besar dan berbentuk lonjong ketika mengena sasaran keras. Perubahan seperti ini secara drastic mengurangi kecepatan dan energi, serta membatasi jangkauan pasca-benturan. Artinya, jika peluru ini mengenai sasaran, ia tidak akan ‘memantul’ ke mana-mana. Sebaliknya, pada jarak jauh, tembakan dengan anak peluru quik-shok ini bekerja lebih efisien. Pecahnya proyektil ketika memukul sasaran memperbesar kemungkinan dikenainya satu atau lebih organ vital, bahkan dalam sudut datang yang lebih kecil. [caption id="attachment_202504" align="aligncenter" width="411" caption="Uji coba penembakan munisi quik-shok ke gelatin. Terlihat peluru terfragmentasi di dalam dan bergerak ke beberapa arah yang berbeda, walau tidak terlalu dalam."][/caption] Jelas disini ada skenario tumbal yang dimainkan dalam meraih dukungan dan penggelembungan opini. Gerakan Mahasiswa pro reformasi total berhasil mengkristal solid dan publik pun bersimpati pada gerakan mereka pasca tragedi ini. Sebaliknya, pemerintah dan ABRI semakin tersudut.Sampai saat ini, tidak didapat kejelasan siapa pelaku penembakan (walau opini menggiring pada ABRI/TNI), dan darimana asal peluru eksotis tersebut. Ada beberapa peristiwa yang patut dirunut dan sangat mungkin berhubungan dengan tragedi Semanggi atau Trisakti. Beberapa bulan sebelum Sidang Istimewa (SI) MPR 1998 yang ditolak komponen mahasiswa kiri, di gunung Salak ada sebuah pelatihan milisi sipil yang tidak diketahui siapa mereka dan tujuannya. Bahkan sebelumnya, aparat Brimob berhasil mengungkapkan upaya penyelundupan senjata api. Konon, menurut sebuah sumber, ada sepuluh pucuk senjata api yang kemudian disita aparat kepolisian di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Kuat dugaan, senjata-senjata itu diselundupkan ke Indonesia untuk mempersenjatai pasukan sipil yang dilatih di kawasan gunung Salak Bogor. Komandan Korps Brimob Polri saat itu, Brigjen (Pol) SY Wenas maupun Komandan Satuan Korps Brimob Polda Jabar Kolonel (POl) Edi Permana sama-sama mengakui sampai saat ini pihaknya belum menerima laporan tertulis atau lisan soal penyelundupan tadi (sumber : tabloid TEKAD, 30 November-6 Desember 1998). Yang jelas, masih jadi pertanyaan apakah pasukan sipil terlatih itu turut berperan dalam tragedi Semanggi, Trisakti, atau bahkan terlibat dalam rusuh Mei 1998 ? Semua masih misteri. Tidak ada media yang meliput atau membahas soal peluru eksotis dan pelatihan pasukan sipil ini kecuali tabloid TEKAD (grup Republika) yang cukup terang membahas peluru tersebut. walau tabloid tersebut hanya seumur jagung, artikelnya jelas sangat berharga. 2. Organisasi Papua Merdeka (OPM) Sabtu 25 Juni 2011, situs sebuah tabloid di Papua memuat berita berjudul “KNPB : Terimakasih kepada Aparat Negara.” Dalam berita tersebut, Wakil Ketua Satu Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Mako Tabuni menyatakan berterima kasih atas terjadinya kasus kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat Negara di Papua. “Terima kasih kepada seluruh jajaran aparat Negara, karena atas perlakuan mereka dapat dishare oleh dunia informasi kepada masyarakat internasional,” kata Mako. OPM dan KNPB sengaja memprovokasi dan mengintimidasi masyarakat agar bertindak anarkis hingga membahayakan keselamatan aparat, kemudian pada saat aparat bertindak tegas, OPM dan KNPB bersorak-sorak sambil berteriak ke dunia internasional, “Telah terjadi pelanggaran HAM di Papua”. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap gerakan separatis selalu ingin mencari perhatian dunia internasional agar bisa menekan pemerintah negara yang bersangkutan. Penembakan-penembakan yang terjadi dan lalu dituduhkan pada aparat, sejatinya adalah sebuah skenario tumbal yang diharapkan dapat menggelembungkan opini yang menguntungkan OPM. Salah satu contoh ada pada tewasnya Kepala Kampung Sawiyatami, Kabupaten Keerom, Papua Johanes Yanufrom (28 tahun) yang tewas persis pada HUT OPM (Organisasi Papua Merdeka) 1 Juli 2012 lalu. Putra ondoafi (kepala suku besar) Hubertus Yanupfrom ini tewas terkena tembakan, ketika mobil patroli Satgas Yonif Lindu 431/SSP tengah melintas di Kali Up tanjakan Kampung Sawiyatami dihadang dan diserang oleh kelompok OPM pimpinan Lambert Pekikir. Korban yang sedang melintas dengan sepeda motornya berpapasan dengan mobil patroli Satgas Yonif tersebut. Pada saat itulah terjadi kontak tembak, dan Johanes pun tewas. Tuding-menuding ikhwal asal peluru yang mengenai tubuh korban, apakah dari tembakan Satgas Yonif ataukah dari kelompok Lambert Pekikir, tampaknya sudah mulai menemukan titik terang. Bukti alat bukti yang pertama adalah saksi, yakni, Ondoafi Sawiyatami, Hubertus Yanupron (ayah kandung korban). Dalam keterangannya di Polres Keerom, Hubertus jelas menuding Lambert Pekikir lah yang bertanggung jawab atas kematian puteranya itu. Lambert Pekikir, salah seorang tokoh yang dikenal sebagai pimpinan salah satu kelompok OPM yang bermarkas di wilayah perbatasan RI-PNG, telah mengeluarkan maklumat kepada semua warga di Keerom untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora serta membunyikan mercon. Warga bahkan diperintahkan untuk tidak keluar rumah dan tidak melakukan aktifitas hariannya di kebun, di pasar, di kantor ataupun ke sekolah. Johanes Yanufrom tewas karena dianggap melanggar maklumat OPM tersebut, walau Pekikir membantah telah menembak Johanes dan mengklaim almarhum adalah anggota resmi OPM-TNP. Dengan demikian sangat jelas sudah, kasus-kasus penyerangan terhadap aparat Negara oleh masyarakat yang terjadi di Papua selama ini, bukanlah hal yang wajar namun merupakan hasil provokasi OPM, khususnya kelompok afiliasi OPM seperti KNPB. 3. Blackwater inc Baru-baru itu Departemen Luar Negeri AS membentuk Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP), yang juga dikenal sebagai Taliban Pakistan, sebuah kelompok teroris. Kelompok ini dikatakan oleh Departemen Luar Negeri untuk menjadi tunas-lepas dari Taliban Afghanistan, yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda sebelum serangan 9/11 di Amerika Serikat. Pimpinan TTP adalah Hakimullah Mehsud, konon baru berusia 30 tahun dan beroperasi dari wilayah suku pinggiran Pakistan dengan wakilnya bernama Wali Ur Rehman. Pada dasarnya, grup Mehsud dan Rehman tidak lebih dari organ rekaan pengganti bagi Osama Bin Laden dan Ayman Zawahiri sebagai pimpinan “Jihad Global” melawan Barat. Bagaimanapun, sel Xe yang dulu dikenal dengan Blackwater.inc yang beroperasi di Karachi, Peshawar, Islamabad dan kota-kota lain yang menjadi lokasi terjadinya aksi “false flag” terorisme di Pakistan. Pemboman warga sipil merupakan modus penumbalan yang sangat disukai sel Xe, tentunya atas perintah dari CIA. Keterlibatan Blackwater/Xe dalam aksi-aksi terror yang menumbalkan warga sipil di Pakistan telah dibenarkan oleh mantan kepala intelijen Pakistan atau ISI, jenderal Hamid Gui, adalah sumber yang familiar dengan operasi-operasi rahasia Xe terkini. Sebagai tambahan, mantan Kepala Staff Gabungan AD Pakistan, Jenderal Mirza Aslam Beg mengklaim saat masih menjabat Presiden, Jenderal Pervez Musharraf menyetujui operasi terror Blackwater di Pakistan. Blackwater pun dituduh telah menyelundupkan senjata dan munisi ke Pakistan. Pemboman markas CIA di Khost Afghanistan bulan Desember tahun lalu dituduhkan kepada TTP, tetapi sangat kuat indikasi bahwa aksi itu merupakan operasi martir sel Xe/Blackwater di Afghanistan. Sebelumnya, situs Wayne Madsen Report (WMR) melaporkan bahwa “sumber-sumber intelijen” di Asia dan Eropa melaporkan bahwa firma kontraktor CIA, XE Services (sebelumnya Blackwater) telah melakukan sejumlah aksi teror “false flag” di Afghanistan, Somalia, wilayah Sinkiang RRC, Pakistan, Iran, dan Irak, yang dalam sejumlah kasus selalu dibantu personel Mossad maupun intelijen India, Research and Analysis Wing (RAW). 4. Operasi Gladio (CIA-NATO) [caption id="attachment_202502" align="aligncenter" width="150" caption="Logo Operasi Gladio"]
[/caption] Gladio adalah jaringan intelijen kejam di bawah naungan NATO yang melakukan pemboman di seluruh Eropa pada era 1960-an, 1970-an dan 1980-an. Gladio khusus beroperasi untuk melaksanakan apa yang mereka disebut "false flag" seperti serangan teror yang kemudian dituduhkan pada oposisi domestik dan geopolitik. Gladio (bahasa Italia untuk Gladius, sejenis pedang pendek Romawi) adalah nama kode yang melambangkan organisasi klandestin NATO "bergerak di belakang" di Italia setelah Perang Dunia II, dimaksudkan untuk melanjutkan tindakan anti-komunis dalam peristiwa invasi Pakta Warsawa di Eropa Barat. Meskipun Gladio khusus mengacu pada cabang rahasia NATO di Italia, "Operasi Gladio" digunakan sebagai nama informal untuk semua badan-badan sejenis yang bergerak dibelakang organisasi, kadang-kadang disebut "Super NATO.” Pada bulan Maret 2001, agen Gladio, Vincenzo Vinciguerra, dalam kesaksian dibawah sumpah menyatakan, "Saya diharuskan menyerang warga sipil, perempuan, anak-anak, dan orang tak bersalah, orang tak dikenal yang digeser dari permainan politik. Alasannya cukup sederhana : memaksa masyarakat untuk berpaling pada negara dan meminta jaminan keamanan yang lebih besar. " Operasi Gladio kerap melakukan pemboman dan aksi teror lainnya, lalu aksi tersebut dituduhkan kepada fraksi komunis Italia. Yang terakhir adalah operasi pembunuhan Jendral Carlo Alberto Dalla Chiesa di Palermo tahun 1982, oleh Pino Greco, salah seorang pembunuh bayaraan (hitmen) favorit Godfather Salvatore Riina (alias Toto Riina), pembunuhan ini diduga sebagai bagian dari rencana untuk meningkatkan tensi politik. Alberto Dalla Chiesa sebelumnya telah berhasil menangkap pendiri Red Brigades, Renato Curcio dan Alberto Franceschini bulan September 1974, lalu menyidik keduanya atas pembunuhan Aldo Moro. Dalam penyidikan tersebut, Chiesa menemukan surat-surat Aldo Moro tentang Operasi Gladio. Organ militer rahasia NATO tidak hanya beroperasi di Italia, sayap-sayap rahasia itu banyak menjalankan secret war di sejumlah negara anggota NATO seperti Inggris, Belgia, Amerika Serikat, Perancis, Spanyol, Portugal, Belanda, Luxemburg, Denmark, Turki, Jerman, Norwegia, dan Yunani. Pentingnya Kontra Intelijen Kontra intelijen didefinisikan sebagai aktivitas atau kegiatan kolektif yang diselenggarakan oleh suatu dinas intelijen yang didedikasikan untuk menghalangi sumber informasi musuh dengan cara penyembunyian, kode, kriptografi, sensor dan langkah-langkah lain untuk menipu musuh dengan menggunakan disinformasi, tipuan, dan lain-lain. (sumber : Study Manual Counter Intelligence Prologue). Jika mengamati perjalanan sejak era Reformasi 98 khususnya, kita belum memiliki atau belum melakukan operasi kontra intelijen dalam menghadapi setiap gerakan yang membahayakan stabilitas nasional. Ketika Tragedi Semanggi, Trisakti, maupun Mei 1998 yang menyudutkan ABRI (TNI), nyaris tidak ada operasi kontra intelijen yang dilakukan dalam mengkounter isu-isu yang selama ini menyerang negara, terutama TNI. Pemerintah atau ABRI hanya melakukan kontra opini melalui media-media nasional yang saat itu memang “pro reformasi” sehingga bantahan maupun pernyataan-pernyataan resmi yang dirilis TNI tidak memiliki gaung yang besar. Bahkan saat menghadapi isu pelanggaran HAM di Papua yang menyalahkan TNI-POLRI, pemerintah seyogyanya lebih aktif dan tegas dalam menggalang atau melawan isu-isu tersebut di level internasional. Gerakan subversif di tanah air memiliki dukungan finansial (dalam dan luar negeri), jaringan media yang terorganisir dan besar, serta organisasi-organisasi nirlaba yang getol menyerukan isu-isu yang menyudutkan pemerintah dan setiap lembaga di dalamnya (termasuk militer). Maka, operasi kontra intelijen itu harus difokuskan pada 2 hal di atas : jaringan media dan organisasi nirlaba (LSM) yang selama ini menjadi corong penggelembungan opini dan isu. Langkah penonaktifan Direktur Imparsial yang sekaligus dosen Unhan (Universitas Pertahanan) hanya satu langkah awal operasi kontra intelijen yang wajib dilakukan Negara. Mengingat karakter peperangan yang semakin sumir dan nyaris tidak memiliki batas-batas tegas, operasi intelijen maupun kontra-intelijen harus disebarkan pada setiap sisi vital negara. Contoh yang baik dilakukan intelijen Australia (ASIST), yang beroperasi di Kupang NTT dalam memantau jaringan penyelundupan para pencari suaka yang akhir-akhir ini merepotkan negeri Kanguru tersebut. Kontra intelijen sejatinya bukan menjadi pengamanan domestik atas lingkar kekuasaan. Maka jangan heran jika banyak dari para punggawa intelijen negara berkembang sangat Power Oriented (menjadi anjing penjaga Kekuasaan).Terjadinya Teror Bom di J.W.Marriot yang lalu adalah bentuk dari lemahnya "logika intelijen" negara berkembang. Sehingga jangan heran jika segenap analisa intelijen RI hanya berkutat seputar situasi domestik. Oleh karena itu mengapa segenap sumber daya RI yang dikerahkan tidak pernah sanggup untuk membongkar segenap covert clandestine war (lintas negara,lintas benua) yang bisa terwujud secara alami, tanpa harus digalang ulang oleh negara sponsor.Teror adalah bagian dari operasi intelijen,tapi operasi intelijen tidak hanya semata-mata teror. Karena segenap peristiwa intelijen merupakan suatu situasi yang berisi begitu banyak plot (skenario) kinerja intelijen. Sumber dan Rujukan : 1. Psychological Operations in Guerilla Warfare - CIA's Manual. 2. Daniele Ganser, NATO's SECRET ARMY - Operation Gladio and Terrorism in Western Europe.
3. Melinda Ayomi, http://politik.kompasiana.com/2011/07/26/knpb-butuh-tumbal/
4. Gerry Setiya, http://hankam.kompasiana.com/2012/07/06/patroli-tentara-vs-kejahatan-agresi/
5. http://bintangpapua.com/headline/24352-bk-berkibar-papua-tak-lantas-merdeka-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H