Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Kekuatan Bernama Kerentanan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kita hidup dalam dunia yang rentan, tiada hal yang pasti di dunia ini. Pada tahun 2014 ini saja, sudah banyak kejutan yang dialami oleh negara kita Indonesia. Abu vulkanik yang ditumpahkan Gunung Kelud, Gunung Sinabung membuat damai hidup beberapa umat manusia terusik. Kita melihat, dan turut merasakan betapa tidak nyaman dan menakutkan sebuah bencana itu. Harta, ternak , rumah dapat rusak dan hilang dalam sekejap. Hal ini membuat kita sadar bahwa kita hidup di sebuah negara yang rentan ; rentan bencana.

Sebagai pribadi, saya benci dengan kerentanan. Suatu saat mungkin kota yang saya tinggali di Bandung ini akan terjadi bencana. Patahan Lembang, Gunung Tangkuban Perahu yang aktif membuat kita membencinya. Kerentanan tidak hanya datang dari alam, bagaimana jika kehidupan sosial politik tidak aman. Lalu kerentanan tidak hanya pada sekala kota, bahkan pada skala pribadi. Bagaimana jika suatu hari saya tidak memiliki pekerjaan dan sebagainya.

Kerentanan juga begitu menempel pada diri saat berhubungan dengan sesama. Ketika masuk dalam lingkungan baru, seperti hari pertama masuk sekolah. Betapa rasa takut itu dapat muncul ketika akan berkenalan. Terbersit pikiran "Apakah dia akan menanggapiku, akan menyukaiku?" Betapa rasa rentan ini banyak kita alami membuat kita mematikan banyak perasaan. Kadang menjadi putih, datar dalam menanggapi banyak hal.

Percayalah kemanapun anda pergi, pencarian rasa aman itu tidak akan pernah berhenti. Riset menarik yang dilakukan oleh Brene Brown yang ditayangkan di ted.com membawa inspirasi baru. Rasa rentan adalah sebuah sifat dimana seseorang berhasil membangun hubungan dengan orang lain dan tidak. Ketika kita percaya bahwa rasa malu dan rasa takut ini terlihat oleh orang lain, kita tetap menjadi seorang yang bermartabat dan berharga.

Bagaimana kehidupan kita dalam skala nasional ? Ketika kita mengetahui betapa rentannya satu desa, satu kota bahkan satu negara jika terjadi letusan gunung berapi. Apalah artinya pembangunan fisik dan material yang menjadi indikator kemajuan dan keamanan sebuah bangsa? Apakah sebuah tindakan preventif yang harus dilakukan? Alih-alih kita menghindari kerentanan yang tidak dapat dihindari mari kita renungkan apa yang kita bisa lakukan dalam tanah yang rentan ini?

Satu hal yang tidak bisa dihindari oleh kultur Indonesia adalah sebuah kepasrahan pada yang Esa. Sebuah kultur yang mengedapankan rasa yang halus dibandingkan dengan kebudayaan material. Sayangnya, perkembangan negara ini telah mengacu pada materialistis. Materi dan kurang terasahnya rasa menyebabkan kebobrokan pendidikan bangsa yang berakibat pada negara yang gagal akut. Mengetahui kerentanan ini sebagai bagian dari negara, kita harus diingatkan pada sumber kehidupan umat manusia yaitu di hati. Sebuah pendidikan baru yang menyelaraskan hati dengan keadaan bangsa.

Hal kongkrit ini ditunjukan oleh pemimpin Jakarta Joko Widodo ataupun Ibu Risma. Bagaimana rasa sebagai motor kepemimpinan mereka. Data, rencana begitu kurang menarik jika dibandingkan dengan rasa dan sebuah hubungan antar manusia itu sendiri. Kadang dengan aksi mereka , mereka rentan menuai kritik, rentan tidak mendapat dukungan namun pengambilan keputusan yang rentan itu menjadi kekuatan mereka. Betapa kita mencintai pemimpin yang rentan karena hati.

Sudahkah kita siap menjadi rentan, lupakan semua jaring-jaring keamanan yang palsu. Demi sebuah hubungan antar manusia yang bedasarkan oleh rasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline