Lihat ke Halaman Asli

Separuh Hati Sepenuh Jiwa

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Maaf pak saya ijin ke belakang”

Setelah melihat anggukan kepala instruktur aku pun bergegas ke kamar mandi yang berada tepat di sebelah ruang pelatihan. Air mata yang tadi hampir keluar di ruang pelatihan kini kubebaskan tuk mengalir.

Duh, kenapa tiba-tiba air mata ini mendesak keluar? Aku bertanya tanya sendiri kala merasa ingin menangis tadi. Aku benar-benar penat badan, dan hati ini merasa hampir tak kuat . Rutinitas yang harus kujalani selama seminggu ini benar-benar membuatku kehilangan keseimbangan

Masih kuingat bagaimana anakku menolakku semalam.

“Aku ngga mau tidur ma bunda” teriak anak semata wayangku semalam kala aku akan menemaninya tidur.

“Kenapa sih kok ngga mau tidur ma bunda” tanyaku

“ Mau tidur ma Ayah”

“Tapi sayang, Ayah kan harus berangkat taraweh!”

“Ayah ngga boleh taraweh”

Melihat kerewelan anakku suamiku pun terpaksa ganti baju lagi. Dia yang semula sudah siap untuk ke masjid terpaksa ganti baju tidur dan menemani anakku tidur.

Aku pun menyingkir dengan hati teriris. Anak semata wayangku yang biasanya mengusir ayahnya pas mau tidur karena pinginnya aku temani kini mengusirku dari kamar kami.

Hati ini yang sudah cukup lama kosong dari kasih sayang suami yang begitu sibuk, semakin kosong karena ketidakhadiranku di rumah membuat anak semata wayang ku mengacuhkanku.

Siudah cukup lama hati ini kering karena aku belum juga mampu menghadirkan cinta untuk suamiku sendiri. Akumemang tak sanggup hidup tanpanya . tetapi itu karena aku sangat bergantung padanya. Aku tak sanggup sendirian, aku tak sanggup menjalani hidup sebagai single parent. Aku tak sanggup hidup tanpa dia karena dia tanpa cela. Dia begitu baik. Dia ayah yang sabar dan suami yang sangat pengertian. Tapi aku juga tak mampu hadirkan debaran kala dia mendekat dan tak mampu hadirkan derita kala dia tak ada.

“Bu, ke ruang pelatihan lagi yuk!”

Aku tersadar dari lamunanku kala Bu Ria mengajakku masuk ruang pelatihan. Aku pun segera merapikan riasanku di depan cermin. Aku tak mau ada yang tau kalau aku baru saja menangis di kamar mandi.

Huhhh. Aktifias hari ini benar-benar melelahkan. Begitu banyak tugas yang harus kami kerjakan. Kok bisa ya pemerintah punya ide gila seperti ini. Masa orang-orang seumuran kami selama seminggu penuh dijejali mata kuliah dan penugasan yang biasanya ditempuh mahasiswa dalam waktu setengah tahun. Yang mahasiswa saja butuh waktu setengah tahun kok kami dalam waktu sepuluh hari harus sudah dapat menyerap materi itu.

Materi hari ini akhirnya selesai dan aku pun bergegas pulang.

“Assalamualaikum”

Sapaanku tak mendapat jawaban dan pintu terkunci. Dan baru kulihat dari kejauhan anak dan suamiku mendekat.

“Darimana Kinta”

“Dari sawah Bun” jawab anakku

“Kinta tadi di jemput ayah jam berapa?”

“Kinta tek jemput sebelum mandi” Suamiku yang menjawab

Kami pun bergegas masuk karena adzan maghrib sudah berkumandang. Kulihat pemandangan yang cukup menakjubkan sore ini. Bila biasanya saat aku pulang ke rumah seperti kapal pecah tapi kini rumah rapi.

“wuih Rapi” komentarku

“Iya sejak pulang Kinta langung tek ajak jalan-jalan ke sawah. Trus tadi ke Dieng. Ya Kin” Jawab suamiku sambil meminta penguatan pada anakku.

“Oh, kirain ayah barusan beres-beres” jawabku sambil ketawa

“Boro-boro beres-beres rumah! Ini aja harusnya ayah rapat, tapi karena kasihan kinta di TPA sendirian jadi terjemput gasik. Niate mo tek ajak ke kampus. Eh ternyata kinta ga mau di ajak ke kampus. Terpaksa ayah telepon kantor dan bilang kalo ayah ngga bisa ikut lembur pendataan penerimaan mahasiswa baru karena ada acara keluarga” jelas suamiku panjang lebar.

“Duh maaf ya Yah, karena ibu lagi pelatihan acara ayah sendiri jadi terbengkalai. Padahal Ayah dah njagain kinta sejak ibu berangkat tadi. Oh, ya tadi kan ibu berangkat kinta masih tidur. Bangun tidur rewel ga yah? Tanyaku

Ngga kok. Alhamdulillah ngga rewel. Cuma lupa ngga tek siapin sarapan. Tapi karena dah jam tujuh, jadi kinta langsung mandi dan berangkat ke PAUD.”

“Ya udah. Ngga papa ngga sarapan. Kan tadi pagi kinta ikut bangun sahur. Makanya tadi jadi kesiangan ya Kin”. Jawabku singkat.

Dan aktivitas malam ini pun berjalan lancar. Anakku yang biasanya ngga mau ditinggal sholat, malam ini anteng di depan TV dan tanpa sadar aku tertidur di depan TV. Aku tersentak kaget kala anakku membangunkanku.

“Ibu…masih sore kok sudah tidur. Kinta mainan sama ibu kapan?” Protes anakku.

Protesnya agak membuat hatiku perih. Ya sudah seminggu ini anakku hanya ditemani suami kala bermain karena aku selalu saja berangkat pagi pulang maghrib. Dan aku semakin perih kala malam hari kulihat suamiku sudah tertidur lelap di samping anakku. Aku jadi ingat ternyata sudah seminggu ini suamiku tak menyentuhku.

Hmm, untung kesibukan ini hanya semnatara. Bagaimana kalau kesibukan ini berlarut larut. Seminggu ini kami tak punya aktifitas yang sejalan. Pagi aku dan suamiku sibuk dengan persiapan masing-masing. Dia sibuk mempersiapkan bahan ajar sedangkan aku sibuk siap-siap pelatihan. Dan saat pulang kami seperti orang kerja sistem sif. Suamiku pulang dan langsung jemput anakku dan menemaninya bermain seharian, dan begitu aku pulang suamiku langung memanfaatkan waktu untuk istirahat.

Kulihat suamiku yang tertidur pulas. Hmm kupandangi laki-laki yang tak pernah kuduga kan jadi suamiku. Masih kuingat kejadian lima tahun silam kala tanteku mengenalkan seorang lelaki berjenggot padaku. Kala itu hubungan kami dimulai di sms. Kala dia minta untuk menindaklanjuti hubungan kami maka aku menjawab silahkan.

Betapa terkejutnya aku kala dia datang dan langsung bilang ke orang tuaku kalau dia akan serius denganku dan akan segera melamarku.

“Hah, kenal juga baru seminggu. Kok sudah nembung” batinku shock.. tapi sungguh aku tak berani menolak karena aku sendiri yang minta dicarikan jodoh ke tnteku dan kala tanteku bilang ingin kenalkan temannya aku langsung mengiyakan. Aku takut kalau aku menolak lamarannya maka tanteku akan menganggap aku mempermainkannya

Maka kala lelaki berjenggot itu pulang, aku dengan hati tak percaya bertanya pada diri sendiri

” berarti aku sudah terikat?”

Aku semakin shock kala dia datang ke rumah bersama ayah dan omnya. Ternyata dia benar-benar serius melamarku.

Duh…dah terlanjur menerima maka lamaran ini kujalani dengan separuh hati. Aku tak merasa punya alasan menolak. Aku tak mau lagi membuat orang tuaku marah dan kembali melontarkan kata”Cari jodoh sendiri ngga bisa, tapi dicarikan jodoh rewel”

Dan kini lelaki yang lima tahun lalu kuterima lamarannya hanya karena takut jadi perawan tua telah menghadirkan begitu banyak warna dalam kehidupanku.

Duhh, lima tahun yang kadang kurasa melelahkan. Karena dasar perkawinan kami sangat singkat. Dua minggu kenalan dia langsung nembung ke orang tuaku. Dua bulan pacaran dua sudah melamarku. Dan baru tujuh bulan pacaran aku harus menjadi nyonya. Begitu banyak kejutan-kejutan di awal rumah tangga dan hingga kini kadang masih ada benturan di antara kami. Dah begitu melelahkan rasanya harus menekan rasa pada lelaki lain hanya dengan alasan aku sudah bersuami.

Kadang aku bertanya-tanya. Apakah aku sudah mencintainya? Kehidupan rumah tangga baru yang harus terpisah karena suami menjalani S2 di luar kota semakin membuatku rapuh. Pondasi kami yang hanya terbangun atas dasar kebutuhan harus diuji dengan terpisah jarak ratusan kilo meter. Karena suamiku selama dua tahun masa kuliah S2 hanya bisa pulang seminggu sekali.

Kini laki-laki yang berusaha kucintai ini kupandangi dengan hati terbelah. Seorang lelaki baru saja menanamkan pesona di hatiku. Seorang leleaki yang tak kukenal mendalam tapi mampu menghadirkan kesan

Duh…jiwa kuatlah kamu menjaga hatiku agar tak berpaling. Suamiku, walau kamu tak romantis tapi kamu selalu siap membantuku kapanpun aku minta. Kamu tak malu membawa piring sambil menemani anak kita karena aku harus berangkat pagi-pagi sekali. Kamupun selalu menguatkan hatiku tuk pasrah kala aku mengeluh tak juga bisa memberikan adik tuk anak semata wayang kita. Kamu menyediakan dadamu tuk menyimpan air mataku kala aku menangis karena tak sanggup hidup dengan diabete seumur hidup. Kamulah yang kuatkkan aku kala aku lemah.

Kamu juga tak mengeluh kala aku tak sanggup menyelesaikan tugas rumah tangga dan berangkat kerja meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan.

Duh suamiku sungguh tak ada lelaki sepertimu. Kamu malah minta maaf kala rumah kita berantakan. Kamu membuat air mataku mengalir kata kamu berkata ”Maaf ya jeng karena Aku belum selesai kuliah, jadi kita hidup seadanya dan belum bisa nggaji pembantu untuk meringankan bebanmu”.

Duh, suamiku semua kelebihanmu membuatkau berkeras hati harus menghapus bayang lelaki lain. Duh Jiwa jagalah hati yang rapuh ini. Jangan biarkan dia menyimpan pesona lelaki lain.

Duh jiwa hadirkan selalu ketulusan suamiku dalam menjagaku dan tanamkan itu dihatiku sehingga hatiku tak lagi menyisakan tempat tuk lelaki lain.

Duh jiwa kuatkan hatiku tuk selalu belajar mencintai lelaki yang sudah Allah takdirkan menjadi penjaga hatiku.

“Jeng..Kenapa kok belum tidur” Suara suamiku langsung mengembalikanku ke alam nyata.

“Lagi pusing mikir workshop besok” jawabku singkat sambil bergegas berbaring di ssamping suamiku.

“mas, Kangen” kataku manja. Dan suamiku pun langsung tersenyum dan memelukku erat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline