Pemilihan umum telah memanggil kita... Sluruh rakyat menyambut gembira... Hak demokrasi Pancasila... Hikmah Indonesia Merdeka...
Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya... pengemban Ampera yang setia.. Di bawah Undang-undang Dasar 45... Kita menuju ke Pemilihan Umum...
Hayo, siapa yang masih ingat mars Pemilu Nasional yang ngetrend sejak masa ORBA lalu? Tidak terasa ya sebentar lagi bangsa kita akan kembali melakukan Pemilihan umum untuk menentukan siapakah pemimpin negara kita selama lima tahun ke depan. Di tahun 2019 ini ada dua pasangan calon yang bersaing memperebutkan suara kita yakni Jokowi - Kyai Maruf Amin dari pasangan calon nomor 1 dan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno dari pasangan calon nomor 2.
Sebagaimana lazimnya proses menentukan pemenang, sikut-sikutan menjadi hal yang lumrah dalam dunia perpolitikan. Tak soal jika harus membongkar keborokan lawannya (negative campaign). Namun meskipun negative campaign tidak dilarang nyatanya banyak juga yang kebablasan. Ada yang tega melakukan penghinaan, fitnah, ujaran kebencian juga berita hoax dengan tujuan untuk menjatuhkan lawannya (black campaign). Bagi orang-orang seperti ini, kebenaran urusan belakangan yang penting viral dulu di masyarakat.
Bisa disimpulkan negative campaign merupakan kampanye negatif untuk menjatuhkan lawan yang diambil dari data dan faktanya (raport merah kandidat lawan) sedangkan black campaign yaitu kampanye untuk menyebarkan konten kebencian dan hoax yang berdasarkan unsur sentimen pribadi tanpa didukung data dan fakta. Sebab itu black campaign dilarang. Siapapun pelakunya siap-siap saja kena ciduk polisi seperti ketiga ibu yang baru saja ditangkap akibat ujaran kebencian yang ditujukan pada pasangan Jokowi - Amin.
Dalam video yang viral terlihat seorang ibu ngomong sunda saat kampanye door to door. Mereka mengatakan, "moal aya deui sora adzan, moal aya deui nu make tieung. Awewe jeung awewe menang kawin, lalaki jeung lalaki meunang kawin." Dalam video yang diambil di daerah Karawang ketiganya berusaha meyakinkan warga kalau Jokowi menang jadi presiden akan ada pelarangan suara adzan dan dibolehkannya pernikahan sesama jenis dan LGBT.
Astagfirullah. Seperti itukah sesungguhnya wajah politik Indonesia? Sedemikian bencinyakah ibu-ibu itu pada pasangan Capres 01 sehingga mereka sampai nekad melakukan tindakan provokatif seperti itu?
Jujur, saya mencoba berpikir waras. Andaikanpun paslon 02 yang menjadi korbanya tetap saja black campaign ini tidak diperkenankan. Karena dampaknya sangat besar sekali. Bisa-bisa proses pemilu gagal. Maka penangkapan ketiga ibu itu sudah tepat menurut saya. Agar tidak menyebar kemana-mana dan banyak orang termakan isu sampah seperti itu.
Btw, ujaran kebencian yang menggunakan agama sebagai alat berpolitik seperti kasus ketiga ibu ini adalah salah satu contoh paling gres di jagad raya dunia maya. Sebelumnya malah kata-kata nyinyir seperti 'dungu', 'sontoloyo', 'genderuwo', 'muka kera', 'antek asing', 'PKI' dan lain sebagainya juga sempat membuat kuping saya panas. Sebagai ibu dari ketiga anak saya prihatin dengan sumpah serapah, hujatan dan hinaan yang terlontar di masa kampanye ini. Menurut saya, itu bukanlah etika orang Indonesia. Orang Indonesia dikenal sopan santun dan penuh tata krama.
Deklarasi Penulis Untuk Pemilu
Ketegangan suhu politik jelang Pilpres 17 April 2019 mendatang rupanya ikut dirasakan Kang Pepih Nugraha founder portal berita politik Pepnews. Beliau pun kemudian mencetuskan gagasan Deklarasi untuk Pemilu damai yang disambut antusias tiga puluh penulis, termasuk saya. Mengapa penulis?