Lihat ke Halaman Asli

Strategi Bekasi Menghadapi Era MEA

Diperbarui: 22 Juli 2016   13:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Mengingat banyaknya angka pengangguran di Indonesia yang tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang ada, ditambah dengan hembusan kabar mengenai pekerja asing yang diperbolehkannya mencari nafkah di Indonesia membuat resah banyak pihak. Sebenarnya apa sih MEA (Masyarakat Ekonomi Asean/Asia Tenggara) itu? Seberapa besar pengaruh MEA pada sendi-sendi perekonomian Indonesia? Sebegitu menakutkannya kah MEA? Lantas, seperti apa persaingan kerja pekerja local dengan asing dengan adanya MEA sejak diberlakukannya per tahun 2016 ini? Kemudian dari sisi lain, apa saja langkah-langkah yang Pemerintah lakukan untuk menghadapi keresahan seputar MEA ini?

FSPMI Jadi Jembatan Antara Pengusaha Dan Buruh

Dalam acara bincang ringan di kantor pusat FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) di bilangan Tambun Bekasi belum lama ini, kebetulan saya dan teman-teman Blogger diundang untuk menyimak langsung keluhan-keluhan dari perwakilan buruh pekerja di kawasan Bekasi. Bekasi yang merupakan wilayah industri yang banyak pabriknya ini kenyataannya masih belum berpihak pada buruh. Belum ada kebijakan perusahaan yang pro pada Buruh sehingga memicu banyak perselisihan antara Perusahaan dan pekerjanya. Kebanyakan yang menjadi sumber kekisruhan mengenai Upah, Cuti, jam kerja dan beban pekerjaan yang tidak masuk akal.

Untuk itulah peran FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) penting sekali sebagai jembatan antara Pengusaha dan Buruh di wilayah industri Bekasi. Bilamana diperlukan FSPMI juga menyediakan perlindungan dan bantuan hukum yang diperlukan buruh. Serikat yang berdiri secara independent ini diketuai oleh Bapak Obon Tobroni yang bekerja secara sukarela untuk menampung seluruh aspirasi pekerja yang tidak tersalurkan dan segala bentuk diskriminasi yang diterima pekerja buruh.

Dalam bincang santai tersebut hadir orang-orang yang peduli sekali dengan Bekasi yaitu Bapak Obon TobroniKetua FSPMI dan Ibu Meilina Kartika Khadir Pimpinan DPC PDI Perjuangan Bekasi. Mereka berdua menyoroti langsung keluhan dan masukan-masukan dari perwakilan Buruh yang hadir dalam kesempatan tersebut. Selain permasalahan upah buruh, banyak hal lain di Bekasi yang menjadi sorotan khusus seperti permasalahan sampah dan infrastruktur di Bekasi  yang belum memadai.

Kesempatan Kerja Di Bekasi

Di Bekasi sentra industri yang banyak menampung banyak pekerja tersebar di beberapa wilayah sampai ke Cikarang. Kebutuhan akan lahan luas dimana lokasinya yang tidak jauh dari ibukota Jakarta dan tersedianya banyak SDM dibidik para pengusaha dengan tepat untuk membuka usaha di wilayah Bekasi. Sayangnya, sebagian besar SDM yang tersedia masih banyak yang tidak siap pakai alias kurang ketrampilan.

Seperti mata rantai yang tidak berujung, kekurang trampilan sebagian besar pekerja disebabkan oleh faktor pendidikannya yang rata-rata masih rendah. Ironisnya, BLK atau Balai Latihan Kerja di wilayah Bekasi juga belum ada. Sejatinya BLK dapat dijadikan ujung tombak dan incubator bagi tersedianya tenaga kerja yang trampil dan bermutu. Hal tersebut bak menjadi buah simalakama bagi pengusaha. Berdasarkan aturan PERDA, Pengusaha mau tidak mau harus menyerap 60 persen tenaga kerja di wilayah yang berdekatan dengan lokasi usahanya baik siap maupun yang tidak siap pakai. Nah, yang jadi pertanyaan, bagaimana menciptakan tenaga kerja yang trampil dan bermutu, yang produktivitas dan efisiensi kerjanya bagus sehingga upah rendah bukan lagi jadi kendala?

Upah Rendah Buruh

Sebagaimana kita tahu setiap tahun inflasi selalu kejar-kejaran dengan pendapatan. Di pemberitaan televisi dan media lain setiap saat ada saja demo besar-besaran Buruh Indonesia yang menuntut standar hidup yang layak dengan menolak upah murah. Pemerintah menyadari betul hal ini tapi tetap belum bisa memberikan angin segar bagi kedua belah pihak ; pengusaha yang berinvestasi dan buruh Indonesia.

Dari kaca mata investor, daya tarik berinvestasi di Indonesia tadinya adalah upah murah. Namun sayangnya upah murah berbanding terbalik dengan produktivitas dan efisiensi kerja SDM-nya. Untuk itu sejalan dengan waktu, upah murah bukanlah target yang diinginkan lagi melainkan produktifitas dan efisiensi kerja pekerjanya. Mereka  mengeluhkan, daya saing produk Indonesia semakin rendah karena upah buruh yang semakin mahal. Dengan adanya MEA nanti bisa jadi merupakan angin segar bagi pengusaha untuk terus berproduksi menggunakan tenaga kerja trampil siap pakai dengan imbalan upah yang jauh lebih tinggi. Hal ini memukul telak bagi kaum buruh. Bisa dibayangkan, angka pengangguran saja sudah demikian tinggi, bagaimana nanti?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline