Paradigma kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) 2021 merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi ketergantungan terhadap utang, yang telah meningkat pesat akibat pandemi Covid-19. Pada 2023, total utang pemerintah Indonesia mencapai sekitar IDR 7.500 triliun, atau sekitar 40% dari PDB. Dengan kenaikan PPN, diharapkan ada tambahan penerimaan yang dapat membantu menstabilkan kondisi fiskal dan memperbaiki anggaran negara, mengurangi defisit anggaran, serta mengurangi tekanan pada utang negara. Namun apakah Indonesia sudah siap menerapkan kenaikan pajak?
Dampak Kenaikan PPN Terhadap Perekonomian
- Inflasi dan Kenaikan Harga Barang
Kenaikan PPN langsung mempengaruhi harga barang dan jasa di seluruh sektor perekonomian. Meskipun inflasi Indonesia pada 2023 tercatat sebesar 3,3%, proyeksi kenaikan tarif pajak ini dapat memperburuk kondisi inflasi, terutama pada barang-barang yang menjadi kebutuhan dasar. Para ekonom memprediksi bahwa dampak inflasi ini bisa mencapai 0,5% hingga 1% pada 2025 jika tidak ada penyesuaian kebijakan lainnya - Penurunan Belanja Kelas Menengah
Kenaikan pajak 12% akan mengurangi daya beli masyarakat, terutama kelas menengah yang selama ini menjadi motor penggerak konsumsi domestik. Dengan pengeluaran yang semakin terbatas akibat harga barang yang naik, belanja non-esensial diprediksi akan turun. Ini bisa memperlambat pertumbuhan sektor ritel, yang merupakan salah satu pilar perekonomian domestik. Kenaikan harga juga dapat menurunkan kepercayaan konsumen terhadap ekonomi yang lebih luas. - Penurunan Pertumbuhan Ekonomi
Sektor-sektor lain yang sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga, seperti manufaktur dan perdagangan, berpotensi tertekan. Dengan penurunan konsumsi, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan stabil pada kisaran 5% pada 2024 bisa berisiko melambat. Sebuah analisis dari Bank Indonesia menyebutkan bahwa dampak negatif terhadap sektor ekonomi domestik dapat lebih berat jika daya beli masyarakat tidak segera diperbaiki
Sejarah dan Relevansi Kenaikan Pajak di Indonesia
Kenaikan pajak tidak selalu berjalan mulus dalam sejarah ekonomi Indonesia. Pada masa sebelumnya, seperti pada era 1998 dan 2008, kebijakan kenaikan pajak di tengah krisis ekonomi justru memperburuk kondisi perekonomian. Krisis moneter 1998, misalnya, mengungkapkan bahwa peningkatan pajak di tengah inflasi yang tinggi justru memperburuk kemiskinan dan pengangguran. Oleh karena itu, relevansi kebijakan kenaikan PPN 12% sangat bergantung pada bagaimana pemerintah mampu menjaga stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat
Rekomendasi Kebijakan untuk Menjaga Stabilitas Ekonomi
Dalam menghadapi potensi dampak negatif dari kenaikan PPN 12%, diperlukan kebijakan fiskal dan moneter yang hati-hati dan proaktif:
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dapat menambah beban ekonomi masyarakat, namun kebijakan moneter dan fiskal dapat memainkan peran penting dalam meredam dampaknya. Dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia dapat mengendalikan likuiditas di pasar dengan menaikkan suku bunga acuan untuk menekan inflasi, serta melakukan operasi pasar terbuka untuk menyerap likuiditas berlebih. Intervensi nilai tukar juga diperlukan untuk mengurangi imported inflation, sementara komunikasi kebijakan yang transparan dapat menenangkan ekspektasi inflasi masyarakat. Di sisi fiskal, pemerintah dapat memberikan pengecualian atau diskon pajak untuk barang esensial, serta subsidi langsung kepada kelompok rentan untuk mengurangi dampak kenaikan harga. Program bantuan sosial, seperti Kartu Sembako atau Program Keluarga Harapan (PKH), juga perlu diperkuat untuk menjaga daya beli masyarakat miskin. Selain itu, pemerintah bisa menunda kenaikan PPN pada sektor-sektor tertentu, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), untuk menghindari beban pajak yang berlebihan. Peningkatan pendapatan negara dapat diupayakan melalui reformasi pajak dan kebijakan pajak kekayaan untuk individu berpenghasilan tinggi. Pemerintah juga dapat mengalokasikan sebagian pendapatan tambahan dari kenaikan PPN ke sektor-sektor produktif seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% memang dapat menambah beban ekonomi masyarakat, tetapi kebijakan moneter dan fiskal dapat membantu meredam dampaknya. Namun, untuk menjaga keseimbangan, kenaikan pajak sebaiknya diimbangi dengan kenaikan upah pekerja. Hal ini bertujuan agar daya beli masyarakat tetap terjaga dan tidak tertekan oleh kenaikan harga barang dan jasa. Peningkatan upah, bersama dengan kebijakan fiskal yang mendukung kelompok rentan dan kebijakan moneter yang menekan inflasi, dapat membantu memastikan stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Analoginya dapat dipahami melalui prinsip keseimbangan dalam sistem ekonomi. Kenaikan PPN yang meningkatkan biaya barang dan jasa bisa dilihat seperti penambahan beban pada sistem. Untuk menjaga kestabilan, beban tersebut perlu diimbangi dengan peningkatan pendapatan masyarakat, seperti kenaikan upah pekerja. Jika upah tidak disesuaikan, daya beli akan tertekan, mengarah pada penurunan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, jika kenaikan PPN disertai dengan kenaikan upah, daya beli tetap terjaga, dan konsumsi bisa berjalan lancar, menciptakan keseimbangan antara penawaran dan permintaan dalam perekonomian.
Kesimpulan
Kenaikan PPN menjadi 12% merupakan kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun, untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar, seperti inflasi dan penurunan daya beli, pemerintah harus mengambil langkah mitigasi yang tepat, baik dalam kebijakan fiskal maupun moneter. Dengan perhatian terhadap sektor yang rentan dan pengelolaan pendapatan pajak yang transparan, Indonesia dapat menjaga stabilitas ekonominya di tengah perubahan kebijakan ini.