Lihat ke Halaman Asli

Diah Wati

Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Jember

Rupiah Tertinggi dalam 5 Tahun: Katalis Positif atau Tantangan Baru?

Diperbarui: 6 November 2024   23:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kilas Jatim

Ketika mengamati dinamika ekonomi Indonesia, akan terlihat pergerakan nilai tukar rupiah yang tertera dalam grafik dari 2018 hingga 2023 sebagai cerminan kondisi perekonomian yang kompleks. Lonjakan nilai tukar pada 2023, mencapai 15.236,9 rupiah per dolar AS, merupakan titik tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pada 6 November 2024, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS berada sekitar Rp15.748 per USD (Bank Indonesia). Nilai ini mencerminkan pelemahan yang moderat dari awal tahun, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor global, termasuk ketegangan geopolitik dan kebijakan moneter Amerika Serikat.  

Sumber:World Bank, 2024

Pertama, mari kita pahami kondisi pasar global. Dunia kini menghadapi ketidakpastian yang tinggi, mulai dari krisis energi, konflik geopolitik, hingga ketidakstabilan politik di beberapa negara besar. Amerika Serikat, sebagai salah satu pusat ekonomi terbesar dunia, memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap nilai tukar mata uang negara-negara lain, termasuk Indonesia. Pemilu AS yang akan datang, misalnya, telah menciptakan kekhawatiran bagi investor karena hasil pemilu dapat mempengaruhi kebijakan moneter dan fiskal AS, terutama jika terjadi pergantian kepemimpinan atau perubahan kebijakan yang drastis. Investor cenderung menarik dana mereka ke aset yang lebih aman seperti dolar AS saat ketidakpastian meningkat, sehingga permintaan terhadap dolar naik dan nilai tukar rupiah pun tertekan.

Menyelami dinamika nilai tukar, pada tahun 2023, suku bunga Federal Reserve (Fed Fund Rate) tercatat sebesar 5,5 persen, dan diperkirakan akan turun menjadi 4,5 persen tahun ini, dengan proyeksi lebih lanjut mencapai 3,5 persen pada tahun 2025. Meskipun demikian, Bank Sentral AS masih mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi untuk meredam inflasi domestik yang belum sepenuhnya terkendali. Kebijakan ini menyebabkan dolar AS semakin menarik bagi investor global yang mencari imbal hasil lebih tinggi dari obligasi AS. Akibatnya, aliran modal cenderung kembali ke AS, meninggalkan pasar negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah, yang tercermin dalam tren pelemahan rupiah yang terlihat jelas pada grafik, di mana rupiah mengalami penurunan nilai dari 2021 hingga 2023.

Proyeksi ini juga terkait dengan analisis Bank Indonesia yang menyebutkan dampak suku bunga tinggi terhadap arus modal dan nilai tukar di pasar negara berkembang. Kemudian, dari sudut pandang kebijakan domestik, Bank Indonesia menghadapi dilema dalam merespons tekanan eksternal ini. Di satu sisi, untuk menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia mungkin perlu menaikkan suku bunga agar rupiah lebih menarik bagi investor. Namun, di sisi lain, kenaikan suku bunga domestik akan berdampak pada biaya pinjaman bagi sektor riil dan konsumen. Artinya, langkah tersebut bisa menekan pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan daya beli masyarakat. Ketika suku bunga domestik naik, biaya kredit meningkat, yang berpotensi memperlambat investasi dan konsumsi, dua komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Beralih dalam konteks fiskal, pemerintah Indonesia harus berhati-hati dalam mengelola utang, terutama utang dalam mata uang asing. Dengan nilai tukar yang tinggi terhadap dolar, beban utang luar negeri otomatis meningkat, yang memperbesar pengeluaran pemerintah untuk pembayaran cicilan dan bunga utang. Kenaikan pengeluaran ini mengurangi anggaran yang tersedia untuk program pembangunan dan kesejahteraan rakyat, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Kondisi ini menjadi lebih berat ketika inflasi global yang tinggi berdampak pada harga bahan pokok, energi, dan kebutuhan sehari-hari, sehingga pemerintah harus menambah anggaran subsidi untuk menjaga stabilitas harga.

Lebih jauh lagi, sebagai negara berkembang yang terhubung dengan rantai pasok global, pelemahan rupiah juga berdampak langsung pada harga barang impor, termasuk bahan baku untuk industri manufaktur. Kenaikan harga impor ini berpotensi meningkatkan biaya produksi dan harga barang jadi, yang kemudian mendorong inflasi di tingkat konsumen. Masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah, akan merasakan dampaknya pada daya beli mereka, yang bisa semakin tergerus oleh kenaikan harga barang dan jasa.

Namun, tidak semuanya merupakan kabar buruk. Ada potensi yang bisa dimanfaatkan dari pelemahan rupiah ini, terutama untuk sektor ekspor. Nilai tukar yang lebih tinggi membuat produk Indonesia menjadi lebih kompetitif di pasar internasional karena harga yang lebih murah bagi pembeli asing. Sektor-sektor seperti pertanian, perikanan, dan manufaktur berbasis ekspor dapat memanfaatkan situasi ini untuk meningkatkan volume penjualan. Selain itu, sektor pariwisata juga bisa mendapatkan manfaat, karena Indonesia menjadi destinasi yang lebih terjangkau bagi wisatawan asing.

Perlu dipahami bahwa potensi ini hanya bisa optimal jika pemerintah dan pelaku usaha bisa menjaga kualitas dan konsistensi pasokan produk dan jasa yang ditawarkan. Secara keseluruhan, kondisi nilai tukar yang bergejolak ini membutuhkan koordinasi yang solid antara kebijakan moneter dan fiskal. Bank Indonesia harus cermat dalam merespons gejolak eksternal tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi domestik, sementara pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan fiskal dapat menopang pertumbuhan ekonomi dan menjaga daya beli masyarakat. Untuk jangka panjang, Indonesia perlu memperkuat ketahanan ekonominya dengan mengurangi ketergantungan pada impor, mendorong substitusi impor, dan mempercepat transformasi ekonomi digital serta industri hijau yang lebih mandiri terhadap fluktuasi nilai tukar global. Hal penting lainnya adalah dengan memperkuat kerjasama internasional untuk perdagangan di lingkup ASEAN, giat mendukung implementasi dedolarisasi dengan akselerasi QRIS-Cross Border.

Dengan tantangan yang ada, kita harus realistis dan siap menghadapi ketidakpastian yang mungkin terjadi. Pemilu Amerika dan kebijakan ekonomi negara-negara maju mungkin di luar kendali kita, namun kebijakan ekonomi dalam negeri yang adaptif dan tangguh akan menjadi kunci dalam mempertahankan stabilitas ekonomi Indonesia di tengah badai global. Sebagai akademisi, saya optimis bahwa dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat melalui periode ini dengan baik dan bahkan mungkin memperkuat fundamental ekonominya untuk masa depan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline