oleh Diah Trisnamayanti
Rumah No 19 Jalan Melati
Sore itu nampaknya amat indah terlihat, di ufuk barat warna mentari mulai bertemu di peraduan terlihat jelas mencerahkan dengan kilauan cahayanya. Bungah hati Suci setelah seharian memberikan bekal bagi pemuda-pemudi di desa Mekargalih.
"Assalamu'alaikum!" sapanya saat melangkahkan kakinya ke rumah kontrakannya yang dipenuhi dengan furniture tua dan murah. Dia masih bersyukur, masih bisa membayarnya setiap tahun meskipun sang suami tercinta telah meni-nggalkan dunia saat usia Suci Suminar genap enam puluh tahun dan baru saja pensiun sebagai seorang guru waktu itu.
Sekarang sudah hampir lima tahun berselang. Dia masih berdagang sayur matang untuk membiayai kehidupannya bersama kedua putra-putri serta dua orang cucunya dari putra pertamanya yang tinggal bersama dia. Sang suami tercinta tak meninggalkan warisan apapun untuk anak mereka kecuali ilmu.
"Wa'alaikum salam" sahut Byoryta putrinya yang baru selesai S2 jurusan Arsitektur di Swiss dan baru beberapa minggu di desa Mekargalih.
"Bu, tadi ada telpon dari Bulek Syamsi"
"Oh ya. Apa katanya nduk?"
"Bulek Syamsi Cuma bilang kangen aja, bu"
Syamsinar adalah adik Suci saat dia bilang kangen pasti terjadi sesuatu sama dia. Suci tidak berpikir panjang langsung mencari handphone dan no Syamsinar.
"De, assalam'alaikum"