Lihat ke Halaman Asli

Ironisnya Piala Dunia yang Tak Terkuak Media

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Malam kemarin ketika saya bangun, saya melihat ada 6 misscall di ponsel saya serta beberapa chat dari teman. Isinya mengingatkan (atau membangunkan) untuk menyaksikan upacara pembukaan Piala Dunia FIFA 2014.

Saya tidak menyesal atau apa tidak menyaksikan perhelatan yang biasanya sangat mewah dan spektakuler tersebut. Berbeda dengan empat tahun sebelumnya, bahkan dua tahun sebelumnya saat EURO. Saya membeli tabloid spakbola yang berhadiah merchandise dan cd tentang piala dunia, saya begadang, membeli jersey dan sebagainya karena saat itu sangat bersemangat dengan sepakbola.

Tapi tahun ini berbeda, saya adalah mahasiswi tingkat akhir yang terlalu banyak menelan buku-buku mengenai sosialisme. Sejak beberapa bulan yang lalu, beberapa media menayangkan tentang demonstrasi dan penolakan perhelatan Piala Dunia di Brazil karena pemerintah yang korup, penggusuran, dan alokasi dana yang sebetulnya diperlukan untuk kepentingan lain habis digunakan untuk melicinkan acara Piala Dunia. Lalu saya melihat postingan buzzfeed tentang rural art yang tidak ingin fifa lihat yaitu gambar seorang anak kelaparan dengan sepiring bola didepannya, dengan bahasa sederhana anak muda bisa kita ungkapkan dengan "Makan tuh bola!"

Hal ini tentunya sangat memprihatinkan ketika suatu negara lebih mengutamakan menyenangkan korporat dan sponsor untuk menyelenggarakan acara semewah piala dunia sementara hak-hak warga miskin di Brazil semakin tergusur.

Saya benci ketimpangan. Apalagi melihat ketimpangan atlet-atlet sepakbola yang bergaji milyaran euro hanya dengan menendang bola dan bergaya untuk iklan produk kesehatan/olahraga/ketampanan (terserah) sementara itu warga Brazil, pekerja bangunan yang berkeringat siang malam tidak bisa memiliki asuransi jiwa. Perusahaan minuman memberi kesempatan untuk beberapa orang beruntung untuk menonton Piala Dunia dan merasakan menjadi warga dunia yang "disatukan oleh sepakbola" sementara CSR nya bermasalah di beberapa negara. Yap.

Semakin banyak hal yang tidak beres tentang penyelenggaraan piala dunia di negara berkembang, seperti tahun ini dan sebelumnya di Afrika Selatan. Memang hal itu bisa dimanfaatkan untuk diplomasi publik bahwa negara tersebut mampu menjadi tuan rumah yang baik, aman dan semacamnya. Keamanan tidak pernah akan ada tanpa perut yang kosong dan ketertindasan.

Oleh karena itu, saya sebenarnya saya berharap Indonesia lebih baik tidak terlalu berambisi menjadi tuan rumah piala dunia hanya demi gengsi dan tiket lolos babak grup pertama. Berjaya di bidang olahraga sangat baik, tapi alangkah lebih baiknya jika fokusnya berjaya di bidang kesejahteraan, pendidikan dan teknologi karena hal tersebut yang lebih relevan dalam mendorong lebih banyak perubahan positif yang nyata bagi negara.

Oleh karena itu saya tidak tertarik dengan piala dunia tahun ini. Because the suffer isn't worth the excitement.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline