Lihat ke Halaman Asli

Keberadaan Peraturan Bapepam dan DSN-MUI pada Pasar Modal Syari'ah

Diperbarui: 28 Februari 2017   21:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Apa itu pasar modal?

Pengertian pasar modal secara umum adalah suatu sistem keuangan yang terorganisasi, termasuk di dalamnya adalah bank-bank komersial dan semua lembaga perantara dibidang keuangan, serta keseluruhan surat-surat berharga yang beredar. Pengertian pasar modal secara khusus atau pasar modal syariah yaitu pasar modal yang dijalankan dengan prinsip-prinsip syariah, setiap transaksi surat berharga di pasar modal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat islam.

Hadirnya pasar modal syariah untuk saat ini dirasakan tidak sepopuler dengan hadirnya bisnis syariah lainnya, seperti bank syariah dan asuransi syariah. Pasar modal konvensional yang bersifat gharar masih memengaruhi masyarakat belum mau bergabung di bisnis pasar modal syariah. Padahal sejak awal DSN-MUI telah memberikan arahan pada masyarakat tentang apa itu pasar modal syariah? DSN-MUI telah memfatwakan halalnya berbisnis di pasar modal syariah pada fatwa DSN-MUI No. 40 Tahun 2003 (pasal 4 ayat (3)) kemudian standard AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Institution) No. 21, dengan diperbolehkan mengeluarkan saham yang tujuan pendiriannya tidak bertentangan dengan syariah. Akadnya adalah syikrkah al-musahamah.

 

Apa pandangan DSN-MUI mengenai pasar modal syari’ah?

Dilihat dari keberadaan peraturan perundang-undangan, saat ini memang belum ada undang-undang khusus pasar modal syariah. Sebelum lahirnya undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, RUU Perbankan Syariah, namun dalam praktik investasi secara syariah sudah berjalan sejak pertengahan 1997 melalui instrumen pasar modal berbasis syariah, yaitu reksa dana syariah dan obligasi syariah seperti yang dikeluarkan indosat tahun 2002.

Keberadaan pasar modal syariah di Indonesia, yang berawal dengan dibukanya Jakarta Islamic Index (JII) pada tahun 2003, telah memberikan penguatan terhadap bisnis keuangan syariah di Indonesia. Meski Indonesia tidak se-responsif berbagai negara yang mengembangkan bisnis pasar modal berbasis syariah, namun keberadaan JII telah memberikan atmosfir yang lebih kondusif bagi perkembangan bisnis keuangan Islam di Indonesia. Meski dalam level internasional pembukaan ini sudah didahului dengan pendirian berbagai institusi sejenis, namun, dibukanya JII haruslah diapresiasi sebagai suatu bentuk steady progress bagi aplikasi bisnis keuangan Islam di tanah air. Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi pioner dalam pasar modal syariah (Islam) adalah RHB Unit Trust Management Bhd Malaysia pada tahun 1996, serta Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) pada February 1999, Kuala Lumpur Shariah Index (KLSI) pada April 1999 dan FTSE Global Islamic Index Series pada Oktober 1999.

Terdapat karateristik sendiri dalam melakukan investasi syariah, termasuk juga di sector pasar modal. Batasan tersebut adalah berupa kesesuaian suatu produk investasi atas prinsip-prinsip ajaran islam. Dewan Syariah Nasional (DSN) suatu lembaga di bawah MUI yang dibentuk 1999 telah mengeluarkan ketentuan mengenai kegiatan investasi di pasar modal syariah. Ketentuan tersebut dituangkan ke dalam beberapa fatwa MUI tentang kegiatan investasi yang sesuai syariah ke dalam produk-produkinvestasi di pasar modal Indonesia.

Setelah dibukanya pasar modal syariah di Indonesia, yakni dengan adanya JII maka keterlibatan berbagai unsur yang terlarang dalam transaksi bisnis sebagaimana yang terjadi di pasar modal konvensional dapat dihindari. Sehingga, keberadaan pasar modal syariah bukan hanya penting, namun sangat diperlukan guna terciptanya lembaga keuangan Islam yang lebih luas, karena keberadaan dan operasionalisasi perbankan Islam akan kurang kondusif tanpa adanya dukungan dari berbagai lembaga keuangan lainnya. Lebih lanjut, urgensi pasar modal syariah dapat

disebutkan sebagai berikut :

Pertama, memberi peluang investasi bagi orang Islam. Uang yang statis dalam sebuah simpanan akan buruk akibatnya bagi perkembangan ekonomi. Diantara warisan hukum yang dirintis oleh Imam Abu Hanifah adalah bahwa uang yang disimpan (uninvested saved money) tidak melebihi dari rencana kebutuhan (expenditure). Sehingga, beliau hanya ‘menahan’ uang tidak lebih dari 4.000 (empat ribu) dirham sesuai yang dibutuhkannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline