Ilustrasi "Aku Hebat" (dokpri)
Sebuah pepatah lama mengatakan bahwa orang yang tak mau maju dan berpikir terbuka ibarat "katak di dalam tempurung" gelap, tak mengerti apa-apa. Hal itu berdampak pada sikap, perbuatan, dan prinsip hidup. Merasa sudah tepat dalam berlaku, merasa sudah berkontribusi, padahal "zonk". Itulah yang terjadi selama ini, pada diri saya. Seorang pendidik yang sepertinya adalah jelmaan katak di dalam tempurung. Terbukti, dari sebuah salah langkah yang seolah benar, ternyata salah, bahkan menyimpan sebuah problema, tanpa menyadarinya. Apa itu? Penghargaan atau reward yang memperdaya bahkan bisa dikatakan sebuah hukuman bagi siswa.
Ki Hadjar Dewantara dalam pemikirannya telah memberikan banyak pencerahan. Selain jargon "menghamba kepada murid" yang berarti apa yang guru lakukan harus berorientasi pada murid, ada juga jargon bahwa " pemberian penghargaan sejatinya adalah hukuman'.
Alfie Kohn dalam "Punished by aRea Reward, 1993) mengemukakan baik penghargaan maupun hukuman adalah cara-cara mengontrol perilaku seseorang yang menghancurkan potensi untuk pembelajaran sesungguhnya. Lebih lanjut, Kohn mengemukakan bahwa penghargaan memiliki pengaruh jangka pendek dan jangka panjang. Penghargaan tidak efektif, penghargaan dapat mengurangi ketepatan, menurunkan kualitas, mematikan kreativitas, bahkan penghargaan dapat merusak hubungan.
Salah satu bukti sekaligus sebagai pengalaman pribadi penulis bahwa penghargaan dapat merusak hubungan bahkan dendam. Suatu ketika, adaseorang siswa pintar berkarya, dan guru memberikan apresiasi dengan memujinya di depan banyak orang, ternyata teman-teman lainnya merasa iri dan tidak menyukai si murid tersebut. Lebih lagi jika sekolah menganut sistem rangking. Anak yang memiliki rangking bawah merasa paling rendah, merasa dihukum, dan tidak menghargai passion seseorang. Hanya menilai kepintaran siswa berdasarkan hasil penilaian. Padahal, setiap anak pasti memiliki passion atau kompetensi yang beda. Tinggal pintar tidaknya kita_seorang guru_mampu menemukan dan mengembangkannya. Sesuai filosofi pemikiran KHD bahwa setiap anak adalah unik.
Pemberian penghargaan sejatinya masih penerapan motivasi yang timbul dari luar. Ingin berkarya atau bekerja jika ada rewardnya. Motivasi dari luar atau motivasi ekstrinsik ini bukanlah sesuatu yang kekal abadi, tetapi hanya sementara. Motivasi yang terbaik dari dalam atau motivasi intrinsik adalah yang utama dan pertama yang harus dimiliki oleh semua murid, semua insan manusia dalam segala hal. Seseorang murid yang memiliki motivasi dari dalam, maka akan selalu berupaya untuk menjadi yang terbaik versi mereka, ada penghargaan atau pun tidak, ada yang mengawasi atau pun tidak, pasti semuanya akan dilakukan semaksimal mungkin, sebaik mungkin.
Lalu, bagaimana agar motivasi intrinsik ini menjadi landasan atau pondasi yang utama bagi siswa? Pastinya dengan mengembangkan dan membiasakan "Budaya Positif"
Budaya Positif yang dimaksud adalah hilangkan hukuman, penghargaan, apalagi ancaman. Kembangkan pengua tan dengan cara penerapan segitiga restitusi.
Dalam teorinya, Gossen (2004) mengatakan bahwa restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat.
Restitusi ini juga mengajarkan murid tentang bagaimana mencari solusi, memiliki tujuan, tahu apa yang akan meraka lakukan dan inginkan, serta bagaimana harus memperlakukan orang lain.
Penerapan segitiga restitusi ini sangat tepat diterapkan dalam membangun motivasi intrinsik karena dengan cara ini murid belajar menjadi yang terbaik sesuai versi mereka tanpa ada rasa takut, apalagi tekanan dari pihak luar.