Masa remaja merupakan masa emas bagi para pemuda-pemudi di Indonesia. Pada masa tersebut, kejadian-kejadian yang berlangsung akan menjadi salah satu acuan pandangan hidup kedepannya dalam menghadapi dunia dewasa. Banyak diantara pemuda-pemudi di Indonesia yang mengalami kebingungan dan salah arah pada masa remajanya.
Para pemuda mengalami banyak penyesuaian pada masa tersebut dari mulai perkembangan fisik, psikologis dan lingkungannya. Bertambahnya zaman yang memasuki era digitalisasi membuat dampak dan juga penyebaran banyak hal menjadi lebih mudah dan akses yang digunakan lebih luas sehingga remaja yang umumnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi membuatnya mengakses hal-hal beraneka macam melalui digitalisasi yang telah memasuki zamannya dan menjadikannya efek samping digitalisasi tersebut (Putra & Suryadinata, 2020).
Hingga tanpa sadar lingkungan mengambil peran yang begitu besar bagi proses kembang tumbuh remaja saat ini. Tidak jarang juga remaja yang berada pada proses pencarian jati diri, mencari validasi dan pengakuan orang lain melalui cara yang salah seperti contohnya mengikuti geng motor, anak jalanan bahkan hal yang sedang menjadi buah bibir saat ini yaitu klitih.
Berbicara mengenai klitih, anak jalanan atau geng motor dengan konotasi negative membuat benak para orangtua khawatir akan lingkungan pertemanan anak-anaknya. Oleh karena itu, perlunya pengawasan orangtua dalam lingkup sang anak dengan batas wajar. Indonesia merupakan negara dengan jumlah anak jalanan yang cukup besar, dimana menjadi PR tersendiri bagi Indonesia dalam menekan angka tersebut. Arus pergaulan yang kencang membuatnya menjadi hal rawan dimana salah sedikit saja, bisa terjerumus kepada hal yang tidak diinginkan seperti yang disebutkan pada awalnya.
Dikutip dari data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), terdapat 1.251 kasus yang terlibat dengan urusan hukum dan 344 kasus anak yang bergelut dengan narkotika, obat-obatan terlarang dan juga NAPZA. Data tersebut mendukung opini bahwasannya masa remaja merupakan masa yang krusial dan menjadi penentu kedepannya. Klitih yang masih marak terjadi di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya masih menjadi momok yang menakutkan. Para klitih mengendarai kendaraan dibarengi dengan perlengkapan senjata yang dikantonginya. Mereka banyak beraksi pada malam hari dengan tujuan yang masih belum ditemukan dengan jelas. Disertai fakta lapangan bahwasannya pelaku klitih yang tertangkap kebanyakan pemuda bahkan ada yang sedang berstatus pelajar.
Lingkungan pergaulan menjadi salah satu faktor primer, dimana para remaja dengan mudahnya terbawa arus pertemanan mereka. Remaja-remaja biasanya condong terhadap lingkungan pertemanan yang menurut mereka nyaman dimana banyak yang tidak sadar saat lingkungan pertemanan mereka berada jauh dari zona aman pemuda seumuran mereka. Tidak jarang juga terdapat lingkungan pertemanan dengan gaya otoriter, yang apabila salah satu temannya tidak ingin mengikuti aktifitas yang disepakati dalam konteks negative maka akan dikucilkan atau bahkan mendapat olokan. Kejadian tersebut menjadi beberapa contoh dari sekian banyak kejadian kenakalan remaja yang terjadi.
Bisa disimpulkan juga bahwa para remaja harus memiliki bekal sebelum menginjak dunia luar. Peran dari orang terdekat dan keluarga sangat berandil besar memberikan ilmu-ilmu dasar tentang sikap dan perilaku. Mengajarkan bagaimana seharusnya manusia bersikap kepada satu dengan lainnya dan membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Pembekalan diri pada remaja terkait keyakinan dan keteguhan diri juga turut diberikan dengan maksud agar saat berada di lingkungan pertemanannya, ia tidak mudah goyah akan keteguhan hatinya.
Para orangtua dan kerabat terdekat dapat mengarahkannya melalui Pendidikan-pendidikan dasar tersebut dan segera menegur sekiranya tingkah laku dan kebiasan remaja-remaja dirumah menjadi berubah kearah negative. Saat para orangtua dan keluarga berhasil memberikan edukasi yang semestinya terhadap remaja di keluarganya, hal yang harus dilakukan oleh sang remaja yaitu dapat memposisikan diri dia dengan semestinya. Disamping dia mengantongi izin dari keluarganya, ia harus bersikap bijak melaksanakan dan menjaga kepercayaan yang sudah ia kantongi. Pembentengan diri yang dibentuk oleh remaja-remaja tersebut menjadi pencegah yang ampuh apabila berhasil dilakukan.
Faktor lain yang bisa saja terjadi yaitu karena adanya masalah internal dalam keluarga dari remaja-remaja dengan lingkungan pertemanan yang kurang baik. Bukan hal yang asing lagi ditelinga saat mendengar istilah broken home, yaitu sebuah kondisi kurang baik yang dialami sebuah keluarga. Banyak efek samping yang diberikan tanpa disadari karena kurangnya consent orangtua dalam hal tersebut.
Salah satu efek samping yang ditimbulkan dari adanya broken home yaitu emosi yang tidak stabil dari sang anak sehingga mencari pelampiasan bersama dengan teman-temannya. Hal tersebut bisa menjadi awal mula kejadian tidak mengenakan terjadi. Namun, kita juga tidak bisa memukul rata bahwa yang dilakukan remaja-remaja tersebut dalam mencari pelampiasan benar adanya. Banyak hal positif yang dapat dilakukan sehingga tidak harus melakukan kegiatan diluar batas aman remaja pada umumnya. Kegiatan positif yang dimaksudkan yaitu seperti penggalian hobi dan jati diri, mengeksplorasi hal baru dan berkeliling menikmati alam sekitar.
Remaja masih menjadi tanggung jawab keluarga masing-masing yang mana secara hukum pun banyak hal yang belum dilegalkan. Perlu dikantongi juga bahwasannya orangtua harus paham bagaimana hukum dan peraturan yang berlaku dengan maksud agar sewaktu-waktu kemungkinan terburuk terjadi mereka dapat mengatasinya tanpa menghakimi yang tidak seharusnya mereka lakukan. Adanya panti rehabilitasi dan pendampingan dari dinas terkait membantu para remaja-remaja yang telanjur terjun pada dunia kelam masa mudanya dan dapat merasa jera dari Tindakan yang dilakukan sebelumnya.