Lihat ke Halaman Asli

Ayu Diahastuti

TERVERIFIKASI

an ordinary people

Imlek 2576: Sudiroprajan, Harmoni Budaya dari Balik Bilik Neurosains

Diperbarui: 29 Januari 2025   14:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Taman Lampion Jembatan Pasar Gede Solo | dokumentasi pribadi

"bái fà cuī nián lǎo

qīng yáng bī suì chú

sōng yuè yè chuāng xū"

rambut memutih, ingatkan usia berlalu
tahun baru mendesak bertandang
malam tenang, berteman rembulan
bersama pinus-pinus di luar jendela

Malam 25 Januari 2025 saya sengaja berdiam di bawah temaram lampion Jembatan Pasar Gedhe. Kota Bengawan sehari penuh dihinggapi hujan yang hampir tak berujung pangkal.

Teringat saya pada salah satu larik dalam kumpulan puisi Meng Haoran (689 M--740 M). Selayaknya cahaya rembulan menyusup di sela dedaunan pinus, begitu tenang. Di taman lampion inilah cahaya merasuk di sela lampion bergoyang, disertai serpihan-serpihan air hujan yang menjatuhi wajah saya malam itu, ada damai dan tenang menghujam rasa rindu saya.

Pemandangan taman lampion di selatan Pasar Gede Solo| dokumentasi pribadi 

Kerinduan yang riuh tentang bayangan satu kehangatan malam Sincia. Keluarga, tawa, canda, altar-altar beraroma hio, pohon peony penuh angpao, anak-anak kecil berlarian tanpa lelah, serta cerita-cerita yang berkunjung di tengah jamuan makan keluarga.

Sincia telah merupa replikasi budaya masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia. Dalam tutur bahasa Hokkien Sincia merujuk pada malam pergantian tahun baru. Sedangkan dalam bahasa Mandarin sering disebut sebagai 除夕 (Pinyin: chúxī) yang bermakna, Malam Festival Musim Semi.

Begitulah Sincia hadir sebagai bagian dari keseluruhan perayaan tahun baru masyarakat Tionghoa yang biasa dikenal masyarakat Indonesia sebagai Imlek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline