Lihat ke Halaman Asli

Ayu Diahastuti

TERVERIFIKASI

an ordinary people

Roman: Rapsodi Memori

Diperbarui: 20 Maret 2024   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Imlek 2024, Pasar Gede, Solo| dokumentasi pribadi 


Mas, bolehkah aku bersembunyi di balik punggungmu lagi? Sebentar saja. Biarkan aku mendapatkan naungan teduh tenangmu yang paling lapang. Biarkan aku mendapat sebuah tempat kecil saja supaya mimpiku tak sirna usai sewindu kita bersua.

Malam ini aku mencoba merawat keping-keping ingatan tentangmu bersama separuh aroma kopi di antara dingin dinding kamar tamu.

Dari ruang yang sama ini, kau selalu duduk menyandarkan punggung di kursi kesukaanmu. Bila sempat, sesekali kau menyesap kopi yang kuseduh pekat dalam cangkir kesukaanmu. Bagimu cangkir yang pinggirnya sedikit pecah itu biasa.

Kau tak mau menggantinya dengan yang baru. Katamu, aku tak usah membelikan yang baru. "Pemborosan" adalah istilah yang seringkali kau pakai bila aku ingin membelikan sesuatu yang baru untukmu. Sementara kau tahu betul, aku tak pernah merengek demi apa pun padamu. Begitu pun aku, tahu bahwa kau mengagumi sifatku itu.

Hanya suatu ketika aku bertanya, "Mas, kenapa kita ndak beli cangkir kopi yang baru? Kan yang lama cuil?"

"Ndak usah, Dhik. Pemborosan. Cangkir cuil itu biasa. Sama seperti kita yang pernah bertemu rasa kecewa," jawabmu singkat. Kala itu.

Malam seperti ini kau biasa duduk di kursimu.  Memandangku memainkan tuts-tuts lawas keyboard bekas, hadiah ulang tahunku darimu. Bulan lalu.

Sebentar-bentar kulirik dari kejauhan. Hanya untuk memastikan senyummu masih kau sisihkan untukku. Tetap senyum yang sama ketika kali pertama kuminta punggungmu sebentar untukku berlindung dari petir saat kau dan aku terjebak pada sepertiga waktu di bawah guyur air hujan. Sebuah reduksi kodifikasi tempat: serambi toko mi langganan kita.

Oh, begitu curangkah aku menyita sekian detik waktumu bersama segitiga Mars, Venus, dan bulan yang coba kau tangkap untukku di angkasa sana? Begitu tak adilkah aku pada sejuta bintang yang melawat lensa teropong di sampingmu? Maafkan kelancanganku, Mas.

Saat itu, kau melihatku. Lama. Dan kubiarkan kau menempuh perjalanan jauh menyelam ke dalam dua bola mataku. Namun, aku mengerti kau gagap menyembunyikan kilatan-kilatan sukamu padaku. Sekali lagi, kupikir semua ini pun terjadi bukan karena  harum rambut ikalku yang seringkali kau sangka sewangi pandan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline