Masih ada selamat malam meski senja sesegera mungkin menggulung jingganya. Masih tersisa ingatan- ingatan menjelang janari tiba, Kangmas.
Mungkin batang-batang kering rela patah demi sesuatu yang tak dapat kita mengerti. Bahkan, akhir-akhir ini angin pun enggan menyampaikan maksudnya. Hendak bertiup ke arah manakah ia.
Sehingga kini pesan-pesanmu menjadi kering. Sehingga kini notifikasi dan emoticon yang biasa kita tebar tak lagi menghiasi dinding kamar perpesanan kita.
Ah, kita berdua sama-sama tak pernah mengerti sampai sejauh manakah kita saling menjaga laju langkah kita. Bukankah seperti setiap partikel yang berubah dalam sepersekian nano masa, kita pun sama-sama berubah setiap waktu.
Yang pernah kita sepakati hanyalah satu. Bahwa tak selamanya kita bersama. Kapan pun itu kita pasti berpisah.
Kolase narasi tentang kita pun mungkin akan punah. Dialek akan bergeser, sejurus jarak yang memisahkan kita. Selurus waktu kita bergumul dengan kesibukan dan segumpal alasan penolakan akan saat-saat kebersamaan.
Hidup kita didominasi oleh dua irama akbar. Yang satu lebih cepat dan satunya lagi lebih lambat. Siang, malam, pagi, senja, itulah si irama cepat. Namun semua laju irama tersebut jelas tak akan sama seperti cerita Doraemon atau kisah Aang yang membeku lantas dapat berpindah ke lain dimensi ruang dan waktu begitu saja. Kalau tak mengerti coba saja tanyakan kepada Stephen Hawking soal narasi dimensi itu.
Jadi, Kangmas, bila saja kata-katamu sedang terbang layaknya kupu-kupu, ke sana ke mari tak pernah menentu, "Masih maukah kau menuliskan kabar? Supaya rindu yang tak sempat kau cuci akan dibasuh oleh sari pati malam. Masih ada selamat malam yang tersisa."
Selamat malam, Kangmas.
Solo, 13 Maret 2024