"Adakah yang lebih tangguh
dari hati manusia
sudah pecah lagi dan lagi
dan masih berdegup"
(Rupi Kaur~the sun and her flowers)
Memori episodik, trauma, ketakutan, bayangan masa kecil, hmm rasa-rasanya bukan rentetan masalah baru buah rahim domestic violence.
KDRT rupa-rupanya bukanlah fenomena baru abad dua puluh. Salah satu bukti kelampauan fenomena perilaku ini ternampak pada salah satu sisi relief Candi Gambar Wetan. Bagaimana dengan jelas perilaku tersebut digambarkan pada laki-laki yang menendang perut perempuan.
Begitu pun bila kita menengok jejak sejarah perjuangan wanita pada masa pendudukan Belanda di bumi pertiwi. Salah satu alasan perjuangan tersebut adalah didorong oleh tingginya perlakuan "kasar" baik secara fisik maupun mental oleh kaum lelaki pada wanita dan anak-anak pada masa bersangkutan.
Apa yang mudah dalam trauma?
Mungkin kita seringkali mendengar tentang betapa parahnya luka baik fisik maupun psikologis dari korban domestic violence.
Tidak mudah menemani mereka untuk kembali bangkit. Tidak gampang melampaui segala peristiwa menyesakkan. Tidak seenteng kita berucap, "Kenapa sih korban ga mau speak up?"
Atau secuil kalimat ampuh, "Udahlah...lupain aja. Kita move on yuk."
Izinkan saya membagi sebuah kisah tanpa nama. Mohon maaf, bila apa yang akan saya sampaikan kurang nyaman, silakan skip bagian ini.
Siang itu, saya dan seorang kawan berjalan di sebuah pusat belanja. Tiba-tiba tangannya memegang erat saya. Wajahnya terlihat begitu terkejut. Sepintas saya melihat seorang lelaki dengan tubuh yang agak tinggi lewat di hadapan kami. Saya tidak mengenal lelaki tersebut sama sekali.
Pada awalnya, saya tidak mengerti mengapa kawan saya menyembunyikan wajahnya di pundak saya. Tak lama dalam getar suaranya, ia berkata, "Sorry, aku selalu ingat bapaknya anak-anak kalau lihat orang berperawakan hampir sama seperti dia."