Jika Anda menganggap novel ini terdiri dari 34 cerita yang masing-masing berdiri sendiri sebagai sebuah kisah, maka perkiraan Anda SALAH!
Disusun secara estafet dari satu penulis ke penulis lain, novel ini merupa biduk yang dikemudikan secara begantian. Cobalah Anda bayangkan bagaimana sebuah kisah dibangun menjadi satu kesatuan cerita dari 33 isi kepala para kontributor.
Bagi saya pribadi ini merupakan sebuah ide penulisan yang benar-benar mustahil. Menghadirkan fiksi-fiksi yang muncul dalam imajinasi 33 individu merupakan hal yang terasa absurd.
Terlebih ide-ide tersebut muncul dari para penulis dengan latar belakang dan pengalaman yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain.
Walaupun secara garis besar semua grand design begitu rapi terencana, namun estafet bertutur antara satu penulis dengan yang lain memunculkan persepsi yang berbeda pula. Tentu saja saling tabrak ide dan gagasan liar sangat rentan terjadi.
Tantangan dalam penulisan novel ini berangkat dari bagaimana melanjutkan kisah dari para penulis sebelumnya. Karakter tokoh yang begitu kuat pada cerita sebelumnya bisa jadi dihilangkan pada kisah setelahnya.
Sebuah relasi yang tak mampu dielakkan dari kolaborasi antar penulis yang berbeda genre, berbeda rasa, demi keselarasan; keharmonisan dalam interaksi antara satu dengan yang lain pun terpilin indah.
Meski demikian banyak terpaan angin pada proses penulisan, ada sesuatu yang terus menguatkan saya adalah bahwa dalam novel ini ada niat-niat baik para penulis. Baik itu penulis novel dengan jam terbang yang tinggi, maupun penulis seperti saya yang masih harus belajar banyak.
Secangkir Kopi Bersama telah sukses secara ajaib menghadirkan unsur-unsur budaya Nusantara yang diletakkan begitu mendunia.
Sebuah kisah berlatar belakang Paris, Roma, dan kota-kota di sudut benua Eropa membalut balut indah beragam budaya Sulawesi maupun Jawa begitu ngeblend; tercekal seru dalam "Kapak Algojo dan Perawan Vestal".