"Kamulah saksi bisu, keringat an air mataku,tak pernah tidur hingga ku tak rasa sedih. Sederhanamu buatku jatuh hati. Slalu ingin pulang ke Solo"
Minggu malam 24 Juli 2022 menghadirkan anginnya yang membelai dingin kulit saya. Bersama ratusan penonton yang hadir di Pamedan, ingatan kecil saya melangkah pelan. Tatkala suara unik ukelele, tempo-tempo khas keroncong mengalun mengisi pekat hitam alun-alun kecil di depan Istana Mangkunegaran.
Usai sukses dengan Internasional Mask Festival 2022, Solo Batik Carnival 2022, dan Torch Relay ASEAN Paragames 2022, kini Solo kembali menghadirkan urai lembut budaya negeri. Gelaran Solo Keroncong Festival 2022 kali ini mengambil tema "Witing Keroncong Jalaran Saka Kulina".
Seduhan getar harmonisasi nada Sang Maestro Keroncong, Gesang membawa Kota Solo dibalik lagu Bengawan Solo yang membahana badai. Siapa yang mengira lagu anak negri kala itu mampu melanglang buana hingga mancanegara.
Musik yang mulai dibawa oleh bangsa Portugis pada sekitar abad ke-16. Waktu itu banyak dari masyarakat Malaka mulai memperkenalkan keroncong.
Sebagai salah satu kota tempat di mana musik keroncong berkembang, Solo kembali rindu membawa keunikan musik hasil akulturasi budaya Portugis kepada anak-anak muda.
Sekitar tahun 1960-1970an kala Rahmat Kartolo, Sam Saimun, Gesang, Waljinah, Mus Mulyadi, Heti Koes Endang, dan seniman seniwati lainnya, keroncong menggeliat menghiasi cakrawala musik Indonesia.
Namun dengan berjalannya waktu, musik adopsi dari fado, kemudian mulai terkulai dengan hadirnya genre musik lain di negri ini.
Hingga pada akhirnya, kerinduan pada nuansa epik klasik mulai menyeruak. Kini musik keroncong kembali dibangkitkan dengan mantra-mantra baru. Cita rasa baru. Estetika musik yang berciri khas instrumen biola, flute, dan beragam instrumen musik petik kembali mengarungi samudra wacana musik anak muda.