"Anyone can become angry-that is easy. But to be angry with the right person, to the right degree, at the right time, for the right purpose, and in the right way- that is not easy" (Aristotle)
Hai, halo, saatnya bertemu saya lagi!
Lead saya terlalu berat? Mmm, tapi sebentar Saudaraku. Mungkin buah pikir Aristoteles tersebut di atas masih relevan dengan kondisi kita sekarang ini, yha. Melihat kembali riuhnya warganet bercuit mesra di jejaring sosial, rasanya saya malah ingin meliburkan diri dari aksi goyang jari.
Meskipun rasanya saya juga ingin berkomentar tentang berita-berita viral yang belakangan ini rajin menghampiri kuping dan korteks kita. Yang mana? Hampir semua berita yang membumbung di media sosial begitu luwes mengurai ketrampilan jempol kita.
Atau mungkin jemari kita yang terbiasa hanyut bergoyang di ruang publik; terlatih lihai beropini? Monggo saja.
Mungkin kita juga masih ingat dengan hasil survei atas 32 negara oleh Microsoft Digital Civility Index satu tahun yang lalu?
Menurut survei Microsoft tersebut, warga +62 telah tercatat sebagai warganet yang paling tidak sopan dalam penggunaan media sosial. Ujaran kebencian, hoaks, dan topik seksualitas diindikasikan menjadi suguhan yang banyak digandrungi warganet setiap hari.
Masih ingatkah kita bagaimana respon warganet kita saat itu? Bagaimana Microsoft pada kisaran bulan Februari 2021 menuai badai komentar pedas dari warganet kita yang tersayang?
Tentunya, masih segar ingatan kita pada era cebong-kampret. Bisa jadi dimensi medan Kurusetra berpindah ke meja makan keluarga. Mungkin juga perseteruan sengit terurai panjang hanya gegara perbincangan santai antar jamaah cebong-kampret ini.
Ah, perseteruan dalam sebuah lini laku demokrasi politik memang memunculkan karakter-karakter fiksi baru. Mengalir begitu saja. Dan rasanya hidup belum lengkap bila tidak terlibat di dalam perseteruan tersebut.