Bagaimana kita memaknai kebahagiaan dalam kebajikan? Hmm, ini hal yang menarik.
Layaknya partikel di dunia ini yang selalu berubah. Demikian pula standar kebahagiaan setiap individu. Bisa juga berubah. Dinamis.
Di tengah rutinitas saya, sering saya jumpai pelajaran hidup yang membawa pencerahan. Seperti beragam cerita dari setiap mereka yang dipertemukan secara tiba-tiba. Meskipun yang saya tahu, semua pertemuan tersebut bukan sebuah kebetulan.
Begitu pula kerinduan saya untuk mencintai setiap proses dalam lini kehidupan. Salah satunya adalah kisah pertemuan saya dengan seorang penderita kanker payudara berikut.
Mungkin apa yang akan saya bagikan kali ini hanya narasi sederhana. Tentu saja, saya mengangkat cerita ini dengan persetujuan pihak keluarga yang bersangkutan.
Bertemu dengan ibu dari satu anak ini adalah anugerah tersendiri bagi saya. Sebagai pasien terdiagnosis kanker payudara stadium akut, ia sempat mengalami stres berhadapan dengan penyakit tersebut.
Rasa bersalah selalu berada di balik bilik pikirnya. Bahkan berulang kali timbul niat untuk bunuh diri.
Suatu kali saat dirawat di rumah sakit pasca operasi kanker payudaranya, ia menjerit histeris. Tanpa diketahui sebabnya. Sang suami yang setia menunggui pun sempat kalut dengan kondisi istrinya.
Setelah ibu ini diperbolehkan pulang dari rumah sakit, seorang kawan menelepon dan mengajak saya untuk melakukan visitasi ke rumah beliau. Saya sempat menolak permintaan tersebut. Bukan karena apa. Namun, karena ada keperluan pribadi yang telah saya rencanakan sebelumnya.
Karena kawan saya berulang kali menelepon dan meminta saya menemaninya, maka akhirnya saya pun mengiyakan permintaan kawan saya tersebut.