14 Mei 1998. Mungkin bukan kenangan yang manis bagi kami masyarakat Solo. Sebuah kenangan tentang tempat, tentang sebuah cerita kelam, juga tentang sebuah perasaan takut. Gentar.
Semua masih membekas dalam ingatan episodik saya. Ketika mata saya melihat bangunan Bank CIMB Niaga di Jalan Kartini, selekas itu pula neuron dalam otak saya menghimpun segala data masa lalu.
Ada asap yang mengepul di langit. Membakar gedung tinggi Lippobank. Hingga tak mampu lagi saya membayangkan ulang. Terasa perih.
Baca juga: Dua Keajaiban di Mei '98
Rumpun keikhlasan coba saya himpun. Meski kepingan ingatan tempat-tempat itu masih menyisakan kisah sedih sekaligus menakutkan. Bahkan hingga saya menyelesaikan artikel ini keping memori itu masih terasa nyata.
Badai ketakutan sempat kembali menghinggapi saya. Sesaat saya kembali seperti berada di masa silam. Masa penuh kepulan asap. Masa penuh kegentaran.
Setahun lebih saya mencoba menyalakan nyali untuk membungkus narasi berjudul "Mei 1998: Solo, Mimpi yang Tak Pernah Dirindukan".
Bangunan dan bangkai mobil dan motor itu kini telah lenyap. Tjoyudan. Kompleks China Town di Jalan Dr. Rajiman kini mulai berbenah. Tidak ada lagi rolling door bertuliskan "Milik Pribumi". Begitu pula tempat lain yang dulu rusak. Ya, tempat yang pernah muram mengubah dirinya menjadi lebih ria.
Proses Recalling Memory Pada Otak Kita
Ingatan tinggal bersama dengan jejak meniti sejarah. Menyisakan kisah yang mungkin tak sedetail saat dulu peristiwa tersebut terjadi. Masih terasa perih.
Baca juga : September dan Mei, antara Memori, Repetisi, dan Rekognisi