Masyarakat Tionghoa menggantungkan lampion sebelum malam Sincia. Pemasangan lampion dipercaya sebagai simbol harapan di sepanjang tahun kehidupan.
Keluarga saya bukan keturunan Tionghoa. Akan tetapi adik ipar saya masih punya darah Tionghoa. Dan saya sekian puluh tahun telah hidup bertumbuh bersama dengan aroma kebudayaan masyarakat Tionghoa.
Semua terasa sangat hangat. Semua terjalin indah. Kehangatan tersebut sangat terasa saat pemerintah menetapkan Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.
Masyarakat Solo kembali mempunyai ruang untuk menyambut Imlek dengan grebek Sudiroprajan. Sebuah proses akulturasi budaya yang hampir saja tertelan sangkala.
Semenjak saat itu, china town di Solo, Sudiroprajan menjadi begitu hidup. Kebudayaan masyarakat Tionghoa seperti menemukan kembali ruh yang dulu pada masa orde baru sempat meredup. Terlebih usai kejadian kelam Mei 1998.
Kampung Sudiroprajan hadir sebagai salah satu pusat dimensi budaya Tionghoa semenjak zaman Kolonial Belanda berkuasa.
Sebagai kota pesisir, masyarakat Solo pada masa pendudukan Belanda terkotak menjadi 3 kelompok masyarakat.
Untuk memudahkan VOC memantau aktivitas masyarakat Solo, maka Belanda membagi pusat aktivitas warga menjadi 3 area. Masyarakat Jawa sebagai pribumi, sedangkan aktivitas masyarakat Tionghoa yang berpusat di area Sudiroprajan, dan masyarakat Arab yang diberi tempat oleh Belanda di daerah Pasar Kliwon.
Maka demikianlah. Derap waktu membawa Sudiroprajan kembali berbenah. Setiap menjelang Imlek, Sudiroprajan merona bagai seorang nonik cantik bersolek penuh gairah.
Warna merah lambang kebahagiaan dan kuning keemasan simbol keagungan Sincia senantiasa menghiasi ramainya sudut Pasar Gede, pasar para Raja di masa purba.