"Sinar...napa ga bilang? Bukumu yang anyar dah terbit itu. Tadi aku sama temen mampir toko buku, ehh...ternyata..." temanmu terus bercerita.
Sementara, kulihat kau hanya melirik di balik kaca mata beningmu. Tersenyum sedikit. Lalu kembali lagi matamu memeluk aksara dalam buku usang itu. Filsafat.
Aku tahu, sebenarnya kau lebih memilih ide para filsuf ketimbang mendengar hantaran cerita kawanmu yang terlahir bawel itu. Sesekali kau beri dia senyum. Sedikit. Lalu kembali lagi mengeja bukumu.
Aku lupa nama temanmu itu. Ingatanku pun sedikit. Meski begitu, kau tak pernah memedulikan hal remeh seperti itu.
Tapi, tunggu! Ingatanku yang hanya sedikit ini ternyata menyisakan beberapa kisah. Ya, mumpung aku ingat. Sebelum ingatan ini minggat dari ruang ingatanku.
"Sinar," begitu kau menyebut namamu. Tersenyum sedikit. Ya, senyummu selalu sedikit.
Hanya sekali seumur hidupku,aku melihat kau tertawa lepas saat bersama dengan seorang pria bertubuh tegap, potongan rambut satu sentimeter, dan berseragam dinas.
Saat itu, aku yang memaksamu datang ke acara pernikahan kakakku. Aku melihatmu semakin akrab dengannya semenjak malam itu.
Sesaat aku merasa begitu bodoh. Marah? Tentu saja iya!! Tapi, aku tetap berusaha tegar walau hatiku ambyar.
Apakah itu kesalahanku? Atau inginnya semesta seperti itu? Mungkin. Entahlah.