Kebebasan. Mungkin bukan lagi sebuah keniscayaan yang patut kita panggul selepas ikrar merdeka di Lapangan Ikada, Jakarta, 76 tahun yang lalu.
Meski dalam rentang waktu 76 tahun Indonesia mengecap kata merdeka, namun realita mengatakan hal yang berbeda.
Saya memang bukan generasi yang turut mengecap langsung masa keemasan pekik merdeka bergaung di lorong-lorong kereta hingga dinding-dinding bangunan lawas dalam rupa aksara.
Namun, saya masih menyesap meski sedikit sebuah masa, di mana sikap apatis penguasa mengebiri hak bersuara kaum nestapa.
Masih lewat di ingatan dalam lajur pre frontal cortex saya, bagaimana buku-buku yang dianggap memuat arus aliran kiri pada masa orde baru seakan dimusnahkan dari dimensi ruang baca generasi muda kalau itu.
Juga saat masyarakat mulai melirik seni sebagai salah satu kendaraan untuk mengusung kritik maupun segelintir masukan, instrumen ini pun tersandung banyak pembatasan. Lagi-lagi, regulasi.
Namun, kini orde telah berganti. Ada ekspektasi bahwa bukan saatnya lagi mempersempit gerak para seniman-seniwati kembali melenggang di panggung budaya sebagai representasi gejolak sosial publik.
Kasus mural "Jokowi: 404 not found" yang merajai republik twiter, sempat mengguncang respon jemari warga berflower +62 untuk bercuit beberapa waktu lalu, menggugah pena saya turut mengguratkan sebuah cerita dari dinding tanpa suara.
Sebagai orang awam, saya pribadi sangat menikmati seni mural. Sudut kota Solo yang pada awalnya terlihat kaku dengan cat tembok dan dinding lusuh, kini mesem ngguyu dengan beragam fantasi gambar di sepanjang area pertokoan Jalan Slamet Riyadi, atau juga dapat kita lihat di sepanjang Jalan Gatsu (Gatot Subroto).