Di tengah perjalanan saya dari gereja, kami, saya bersama driver ojol terlibat percakapan menyoal beberapa peraturan Pemerintah yang dinilai kurang mengakomodir kebutuhan masyarakat pada masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berlangsung.
Kami sepakat peraturan tersebut lebih terkesan ambivalen. Maraknya kafe dan mal yang ditutup pukul 20:00 WIB tidak serta merta membatasi masyarakat yang berkerumun di beberapa warung kaki lima yang tetap diizinkan buka hingga pagi.
Satu pernyataan sang driver yang menarik perhatian saya adalah,"Saya heran, mengapa belum pernah terdengar orang gila kena covid, Mbak. Apa mungkin karena mereka ga pernah berpikir soal Corona ini yha, Mbak?"
Tanpa menunggu perintah, ia mengurai teori pribadinya mengenai makna pasrah yang ia tekuni selama pandemi berjalan.
Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang. (Amsal 17:22)
Sesaat saya teringat satu temuan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) Kemenkes RI tahun 1990-2017. Disebutkan bahwa penyakit kardiovaskuler merupakan penyumbang penyebab melambungnya angka kematian penduduk Indonesia sebesar 36,4%.
Namun demikian, apabila dilihat dari penyebab kecacatan penduduk Indonesia, angka prevalensi terbesar berasal dari penyakit gangguan jiwa sebesar 13,4%.
Sedangkan jenis gangguan jiwa terbanyak dialami oleh penduduk zamrud khatulustiwa ini adalah depresi. Bagaimana dengan schizophrenia? Penderita schizophrenia menduduki peringkat ke-3. Fakta ini didukung oleh Riskedas 2018.
The New York Times (28/12/2020) yang lalu pun menyebutkan adanya beberapa orang yang mengalami halusinasi usai sembuh dari infeksi coronavirus.
Fakta tersebut hingga kini masih menjalani proses kaji ulang untuk membuktikan adanya keterkaitan antara Covid-19 dengan timbulnya gangguan psikotik pada penderitanya.
Salah satu gejala seseorang mengalami schizophrenia atau masyarakat awam sering menyebutnya dengan "gila" adalah munculnya delusi dan halusinasi.