Dinding edukasi Indonesia kembali menorehkan duka. Sesaat setelah seorang remaja MI (16) asal Gowa, Sulawesi Selatan meneguk racun, raga meregang, lalu nyawa pun akhirnya lepas.
Pengakuannya kepada teman-teman tidak membuatnya menjadi lega. Stressor berupa sulitnya akses internet di desanya, datang secara terus-menerus, sehingga semakin menyulitkannya untuk menjalankan tugas daring sesuai jadwal. Kondisi inilah yang mengakibatkan MI memilih untuk meminum racun dan menghabisi masa hidupnya. (Kompas.com 18/10/2020).
Sebuah ironi masyarakat era digital masa kini. Sementara rekan-rekan seusianya berlomba untuk memenuhi kepuasan aktualisasi diri dengan beragam fitur yang ditawarkan gadget keluaran terbaru, baik itu Android atau pun iPhone, remaja ini dan mungkin masih banyak remaja di luar sana kesulitan untuk memenuhi tugasnya sebagai siswa harapan bangsa.
Bukan ingin mencari tahu siapa yang salah dan siapa yang benar dalam hal ini. MI telah pergi. Meski dengan meninggalkan pesan dan kesan yang miris.
Kejadian ini memicu ingatan saya pada dua pribadi tangguh penggagas pendidikan yang menginspirasi jejak mengajar saya.
Guru. Demikian istilah yang diambil dari bahasa sansekerta, Gu, yang artinya penghilang; Ru, yang artinya kegelapan. Arti Guru bagi saya pribadi adalah penghilang kegelapan. Bisa jadi siapa dan apa saja yang ada di sekitar saya.
Baca juga: Kuliah Nobel 8 Bidang Sastra 1913 oleh Rabindranath Tagore
Rabindranath Tagore
Adalah Rabindranath Tagore. Pujangga besar asal India ini menawan hati saya dengan berjuta kata indah dalam rerangkaian puisi dan karya sastranya.
Terlebih, pendiri sekolah Visva Bharati di Shantiniketan ini semakin membuat saya jatuh cinta pada filosofi keseimbangan alam yang coba ia tanamkan dalam pola ajar pada peserta didik.